Jakarta,Klikanggaran.com - Kordinator Aliansi Lembaga Analisis Kebijakan dan Anggaran (ALASKA), Adri Zulpianto, menilai bahwa Pemerintah gagal dalam memahami kondisi dan masalah-masalah yang terjadi dalam tata kelola BPJS Kesehatan. Adri beranggapan, kenaikan BPJS Kesehatan sudah kali kedua dalam tahun 2020 ini merupakan sebuah pengkhianatan pemerintah terhadap hukum dan juga masyarakat/rakyat.
"Pasalnya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan bukanlah sebuah solusi dari persoalan-persoalan yang terjadi dalam tata kelola keuangan BPJS, tapi sistem manajemen BPJS yang mengakibatkan kerugian begitu besar yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah," ujar Adri pada Klikanggaran.com, Minggu (17-5).
Menurut Adri, defisit BPJS selalu terjadi dari tahun ke tahun dan mengalami peningkatan yang begitu signifikan di setiap tahunnya, namun solusi yang dipilih jutru menaikan iuran.
"Defisit BPJS tahun 2017 sebesar Rp1,6 triliun, tahun 2018 defisit meningkat menjadi Rp9,1 triliun, dan tahun 2019 lonjakan defisit begitu tajam menjadi Rp15,5 triliun. Meskipun demikian, pembenahan dalam pengelolaan keuangan BPJS seperti terabaikan, justru selalu diandalkan dan dijadikan solusi dengan menaikkan biaya iuran dari peserta BPJS," jelasnya.
Dijelaskannya, pada tahun 2020 ketika iuran BPJS di naikkan dua kali lipat dari harga sebelumnya, meski dibatalkan oleh Mahkamah Agung, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan justru selalu menyarankan di tengah usulan kenaikan iuaran tersebut untuk seluruh masyarakat yang berada di faskes kelas I dan II.
"Ironinya lagi, jika ada keberatan atas kenaikan tersebut, disarankan untuk pindah kelas ke kelas III. Saya khawatir, Sri Mulyani tidak memahami masalah secara utuh jika mengusulkan semua orang pindah kelas ke kelas III," ucapnya.
Dalam BPJS selama ini, kata Adri, yang bermasalah itu ada di kelas III, kelas yang secara fakta lebih banyak di isi oleh kaum papa, mayoritas masyarakat pra sejahtera, seringkali mereka tidak mendapatkan pelayanan faskes BPJS secara optimal karena ada beberapa kendala.
"Seperti antrian harian yang terlalu banyak menumpuk di Rumah Sakit, sehingga pelayanan tidak dapat di rasakan oleh peserta BPJS, apalagi sakit yang tidak bisa di undur untuk datang kembali keesokan harinya, dan rawat inap faskes III seringkali di bilang penuh oleh pihak RS, sehingga peserta BPJS kelas III seringkali kebingungan, dan ujung2nya malah di minta bayaran normal," kata dia.
Lebih lanjut dikatakan Adri, dari dua masalah itu, bisa menjadi akar masalah kenapa pada tahun 2019 lonjakan defisit begitu tajam, bisa jadi karena masyarakat jengah dengan polah tingkah laku ketidakjelasan sistem BPJS di Rumah Sakit.
"Ketika masalah itu menjadi fakta, bahwa pengelolaan BPJS selama ini bermasalah, lalu diusulkan kepada semua kalangan untuk pindah ke kelas III? Ini justru akan menimbulkan masalah baru. Jka memang semua masyarakat di usulkan mengambil kelas yang paling murah, kenapa tidak dihapus saja kelasifikasi faskes di rumah sakit, agar semua masyarakat merasakan keadilan, dan tidak mengelompokkan masyarakat ke dalam kasta-kasta."
"Rasa-rasanya, menyamakan semua masyarakat ke dalam kelas yang sama, sepertinya BPJS tidak akan lagi mengalami defisit yang sama dari tahun ke tahun," ujarnya.
Lebih lanjut, kebijakan tersebut justru keliru, jika masalah kenaikan BPJS dijadikan sebagai bahan konflik yang terjebak dalam komoditi politik.
"Ini bukan masalah si kaya keberatan naik kelas, atau si miskin yang keberatan atas mahalnya biaya hidup bulanan, tapi kebijakan menaikkan BPJS itu memang salah total, dan sepertinya Sri Mulyani gagal memahami inti masalah dalam pengelolaan keuangan BPJS, dan Jokowi gagal memahami masalah masyakarat dalam BPJS."
"Selain itu, Kenaikan BPJS sepertinya merupakan kado Idul Fitri dari pemerintah untuk rakyat pra sejahtera sedang di sisi lain, pejabat pejabat pemerintahan telah menikmati THR yang menggunakan uang rakyat," pungkasnya.