Jakarta - Alat kesehatan yang di impor secara besar-besaran di Indonesia membuat peluang adanya mafia Alkes. Hal ini diungkapkan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, isu tersebut pun menyebar di media sosial (medsos). Oleh karenanya Komisi VI DPR RI meminta penjelasan kepada BUMN sektor farmasi.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi VI Aria Bima dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan BUMN farmasi secara virtual kemarin.
"Dari saya, sekarang ini yang muncul di medsos maupun (media) mainstream adalah soal memanfaatkan situasi oleh mafia alat kesehatan," katanya Selasa (21/4/2020).
Pihaknya meminta penjelasan praktik impor alkes yang katanya menjadi ladang keuntungan bagi para mafia, yang saat ini dituduhkan jika BUMN masuk ke dalam lingkaran tersebut.
"Akhirnya masuk ke lingkaran-lingkaran pemburu rente yang sekarang dituduhkan masuk ke lingkaran-lingkaran termasuk BUMN maupun private maupun pengusaha swasta. Nah ini tolong nanti ikut dijelaskan dari direktur holding (BUMN farmasi) ada, upaya pencegahan ini seperti apa supaya masyarakat transparan bahkan dituduhkan juga itu berkolaborasi dengan politisi," jelasnya.
Menurutnya perlu dijelaskan secara transparan proses pengadaan dan distribusi alat kesehatan agar tidak ada celah buat mafia.
"Saya kira penting supaya mafia-mafia ini tidak memanfaatkan situasi yang ada, dan pentingnya rapat ini salah satunya adalah memberikan transparansi dan akuntabilitas. Jangan sampai muncul dalam situasi semacam ini," terangnya.
Apa kata BUMN farmasi?
Holding badan usaha milik negara (BUMN) sektor farmasi memastikan tidak terlibat dalam praktik mafia alat kesehatan (alkes). Tapi mereka tidak menampik hal semacam itu mungkin saja dilakukan oleh oknum di luar BUMN di tengah pandemi virus Corona (COVID-19).
"Nah apa-apa yang kami lakukan untuk BUMN, kita tidak mungkin melakukan itu," kata Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI secara virtual, Selasa (21/4/2020).
Dia menjelaskan bahwa BUMN memiliki dua fungsi, yaitu agent of development dan perusahaan yang dituntut untuk memperoleh keuntungan. Namun di tengah pandemi COVID-19 ini, pihaknya tak memanfaatkannya dengan menaikkan harga karena menempatkan diri sebagai agent of development.
Dia mencontohkan, Kimia Farma masih menjual masker dengan harga terjangkau, Rp 2.000 per pcs. Sementara pihak lain, menurutnya mungkin sudah menjual di harga Rp 10.000 dan sebagainya.
"Itu untuk menjaga semua orang bisa mendapat suplai masker yang cukup," jelasnya.
Tapi BUMN saat ini hanya sebagai distributor masker dan belum menjadi produsen. Untuk itu mereka membutuhkan kepastian suplai agar harga tak merangkak naik. Dalam menyuplai kebutuhan alkes yang belum bisa mereka produksi sendiri, pihaknya juga bertransaksi langsung dengan pabrikan untuk menghindari praktik mafia.