Jakarta,Klikanggaran.com - Anggota Komisi I DPR, Fadli Zon, mengaku tak habis pikir mendengar pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang menarasikan peluncuran global bond atau surat utang global, beberapa hari lalu, dengan nada penuh kebanggaan.
Seolah, kata Fadli Zon, hal itu adalah sebuah prestasi. Utang, menurutnya memang bukan aib. Namun, dalam pandangannya, semakin besar utang pemerintah, para pejabat publik seharusnya memperbesar rasa malu, bukannya menebar kebanggaan.
"Malah sebaliknya, menunjukkan betapa ringkihnya perekonomian kita. Sehingga meskipun krisis baru saja dimulai, kita sudah membutuhkan suntikan utang dalam jumlah besar. Sekali lagi, tak sepatutnya hal semacam itu diceritakan sebagai sebuah kebanggaan, apalagi prestasi," katanya.
Dia melanjutkan, sebelum menghadapi pandemi virus corona, merujuk kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, Pemerintah membutuhkan utang baru setidaknya Rp351,9 triliun untuk menutup defisit. Pada saat bersamaan, pemerintah juga harus melunasi utang jatuh tempo sebesar Rp389,98 triliun.
Pria 48 tahun itu berujar, artinya, pada tahun ini pemerintah membutuhkan utang sebesar Rp741,84 triliun untuk kebutuhan pembiyaan (financing need), yang menjadi perhitungan sebelum adanya pandemi.
Dia menambahkan, sebagian besar kebutuhan pembiayaan tersebut akan dipenuhi dengan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) alias surat utang. Bentuknya berupa SUN (Surat Utang Negara) maupun SBSN (Surat Berharga Syariah Negara, atau sukuk). Denominasinya bisa Rupiah, ataupun valuta asing (USD, Yen, Euro).
"Dalam catatan saya, sepanjang Kuartal I 2020, realisasi penerbitan SBN mencapai Rp243,83 triliun, alias sekitar 33,15 persen dari target penerbitan SBN tahun ini. Tapi, sekali lagi, itu adalah angka-angka sebelum memperhitungkan efek krisis Covid-19," kata Fadli Zon.
"Di Kuartal II ini, melalui Pandemic Bond, Pemerintah menargetkan bisa memperoleh Rp449,9 triliun. Artinya, jumlah utang kita akan terus membengkak. Dengan memperhitungkan nilai tukar Rupiah dan inflasi, diperkirakan pada akhir 2020 jumlah utang kita bisa mencapai Rp6.157 triliun," ucapnya melanjutkan.
Menurut Fadli, kalau Indonesia bisa mengendalikan inflasi di bawah 5 persen, tahun ini PDB (Produk Domestik Bruto) diperkirakan akan berada di kisaran Rp16.300 triliun. Dengan demikian, rasio utang Pemerintah terhadap PDB di akhir tahun akan berada di kisaran 36 persen hingga 38 persen.
"Sebagai catatan, itu masih belum memakai skenario terburuk. Jika menggunakan skenario terburuk, rasionya bisa lebih besar lagi," tutur dia.
Jadi, kata Fadli, peningkatan jumlah utang sama sekali bukanlah prestasi. Selain itu, dia memperingatkan jangan bohongi rakyat seolah-olah rasio utang Indonesia masih aman.
Dia beranggapan, pemerintah dalam hal ini selalu berdalih rasio utang Indonesia terhadap PDB tetap aman, karena masih di bawah 60 persen.
"Masalahnya adalah: benarkah 60 persen itu masih sahih dijadikan patokan batas aman bagi perekonomian kita? Saya membaca, menurut ekonom senior @RamliRizal, batas aman yang tepat saat ini adalah 22 persen PDB, bukan 60 persen sebagaimana yang digunakan oleh Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara," ujarnya.
Sebab, lanjutnya, rasio aman yang digunakan dalam UU Keuangan Negara sebenarnya mengacu kepada dua kali rasio pajak negara-negara OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development), karena rasio pajak negara-negara OECD rata-rata 30 persen, maka ditetapkanlah rasio utang yang aman tadi sebesar 60 persen.