Jakarta, Klikanggaran.com (20-06-2019) - Dikembalikannya Rancangan Perubahan Peraturan Pemerintah (RPP) Nomor 23 Tahun 2010 ke 6 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) usai Lebaran minggu lalu oleh Sekretariat Negara, merupakan “tamparan keras” Presiden kepada Menteri ESDM. Alasannya jelas, Menteri BUMN tidak mau atau belum memberikan paraf setiap lembar RPP yang ada. Hal tersebut tak luput dari perhatian salah seorang pengamat Migas, Yusri Usman.
Yusri Usman menilai, sikap Sekretaris Negara (Sekneg) tersebut patut diapresiasi dengan acungan dua jempol. Penolakan Presiden melalui Sekneg menurutnya adalah sebagai signal keras bahwa Kementerian ESDM dinilai tidak taat azas terhadap UU dalam merivisi sebuah peraturan, termasuk terhadap UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, sekaligus atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Hirarkis dan Tata Cara Pembuatan Undang Undang.
“Atau sebaliknya, pengembalian RPP itu oleh Sekneg mungkin bocor bahwa KPK akan meningkatkan kasus perpanjangan PT Tanito Harum ketingkat penyidikan,” kata Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI, di Medan, Rabu (19/06/2019).
Karena menurut Yusri, sejak semula RPP Nomor 23 Tahun 2010 yang diajukan Menteri ESDM dinilai aneh. Ibarat operasi intelijen, semua proses dilakukan dengan sunyi senyap, tidak seperti yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Semestinya, setiap akan melakukan perubahan sebuah peraturan, selalu diawali sosialisasi terhadap stakeholder. Mengingat RPP No.23 Tahun 2010 lebih banyak bersifat teknis, justru lazimnya harus diawali dengan sosialisasi dan bahkan lewat Forum Group Discussion (FGD).
Seperti dikatakan oleh Yusri Usman, semestinya kementerian dapat melakukan FGD dengan Persatuan Ahli Pertambangan Indonesia(PERHAPI), Ikatan Ahli Geologi Indonesia(IAGI), atau fakultas yang terkait aktifitas pertambangan di berbagai perguruan tinggi.
Namun yang terjadi, Kementerian ESDM justru melakukan komunikasi terbatas dan sepihak dengan pihak pemilik tambang PKP2B. Kementerian ESDM tercatat menghiraukan amanah UU Minerba, di mana Sumber Daya Alam (SDA) semestinya diletakkan pada filosofi yang dimiliki oleh semua rakyat Indonesia, dan dikelola Negara untuk kepentingan rakyat. Oleh Menteri ESDM justru perubahan PP sebatas dikomunikasikan dengan pemilik tambang, tanpa menghiraukan pihak-pihak terkait baik asosiasi, universitas, dan bahkan Non-Government Organization (NGO) yang atas UU yang ada, berhak mengetahui keberadaan SDA.
“Sekitar Oktober 2018, kami mendapatkan bocoran bahwa RPP tersebut telah lolos harmonisasi ke Kementerian Hukum dan HAM, tanpa proses harmonisasi terlebih dahulu ke Kementerian BUMN. Sikap potong kompas oleh Kementeriaan ESDM yang selanjutnya mengirimkan langsung ke Sekretariat Negara untuk mendapat tanda tangan Presiden, menjadi langkah Menteri ESDM yang patut dipertanyakan. Apalagi langkah Menteri ESDM, terkait dengan keberadaan SDA (batubara) yang langsung menyentuh ketahanan energi nasional,” tutur Yusri.