Jakarta, Klikanggaran.com (30-07-2018) - Aliansi Pemilih Berdaulat (Aliansi PB) yang terdiri dari lembaga JPPR, ICW, IPC, KODE Inisiatif, Perludem, Puskapol UI, dan SPD, memandang penting untuk melihat peta kerawanan Pemilu 2019.
Pemilu 2019 adalah pengalaman pertama bagi bangsa Indonesia untuk mengecap penyelenggaraan pemilu serentak. Karena sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2014, belum pernah pemilihan anggota legislatif dilaksanakan pada hari yang sama dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam kondisi itu, Aliansi PB mendorong agar semua pihak, baik aktor yang terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam pemilu, untuk bisa mewaspadai kerawanan pemilu dan sedapat mungkin mencegahnya. Kalaupun nanti kerawanan itu akan terjadi, semua pihak sudah memiliki langkah untuk menyelesaikannya. Di atas keinginan itulah, peta kerawanan ini mereka susun secara sederhana, dan disampaikan kepada publik.
Melihat dan menganalisa sistem yang digunakan dalam Pemilu 2019, Aliansi PB mengambil tema “Meneguhkan Kemurnian Kedaulatan Rakyat”. Mereka menilai, suara rakyat/pemilih akan mendapatkan ancaman kerawanan paling serius dalam Pemilu Serentak 2019.
"Akan semakin berat perjalanan suara rakyat dari mulai didaftar sebagai pemilih, terpapar isu SARA, dan politik uang. Kerumitan saat penggunaan hak pilih di TPS, ancaman manipulasi hasil suara, dan jual beli suara saat rekapitulasi hasil hingga mengkonversinya menjadi kursi dan wakil rakyat yang sesungguhnya terpilih," ungkap Aliansi PB dalam siaran persnya di Jakarta, Minggu (29/7).
Menurutnya, Pemilu Serentak 2019 jika tidak dikelola dengan baik akan mengancam kedaulatan pemilih. Sistem penyelenggaraan akan semakin kompleks dan rumit, mulai pendaftaran pemilih hingga rekapitulasi dan konversi hasil pemilihan.
Sementara, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang diwakili oleh Alwan Ola Riantobi menuturkan, daftar pemilih selalu menjadi isu krusial, apalagi persoalan E-KTP belum sepenuhnya tuntas. Isu ini mesti diantisipasi sejak awal. Selain karena selalu muncul dalam pemilu, persoalan E-KTP juga sampai pada pemutakhirannya.
Isu lain pada masa kampanye, menurut Erik Kurniawan dari Sindikasi Pemilu Demokratis (SPD), sebagian besar perhatian akan terfokus pada kampanye kandidat presiden, untuk itu momentum kampanye hendaknya mampu menghadirkan perdebatan visi, misi, dan program kerja.
"Jangan sampai momentum Kampanye justru didominasi oleh perdebatan mengenai personifikasi kandidat. Satu persoalan lainnya adalah bagaimana menyeimbangkan proporsi debat publik agar sebagian konsentrasi juga fokus pada pemilu legislatif," pungkas Erik.
Hal senada disampaikan Almas Syafrina dari Indonesia Corruption Wacht (ICW), yang menilai bahwa ancaman suara rakyat juga datang dari potensi maraknya politik uang. Politik uang akan mengganggu kemurnian suara rakyat dan menimbulkan efek tercederainya integritas pemilu.
Masih dalam kampanye, Delia dari Pusat Studi Politik Universitas Indonesia (Puskapol-UI) menilai Isu SARA sebagai persoalan serius. Jika ruang publik tidak diisi dengan kampanye program dan hal positif, maka kampanye SARA akan menjadi ancaman bagi kebebasan pemilih untuk menentukan suaranya secara rasional dan bertanggung jawab.
Sedangkan, pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara di TPS, Fadli Ramadhanil dan Heroik Pratama dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai adanya kerumitan dalam teknis pemilihan. Persoalan undangan memilih (C6), suara tidak sah semakin tinggi dan penghitungan suara akan semakin rumit karena pemilihan 5 kotak. Selain itu, beban petugas penyelenggara juga akan semakin berat pada saat pemungutan dan penghitungan. Jika petugas tidak disiapkan secara tepat, maka akan menjadi ancaman tersendiri bagi suara pemilih.
Kerawanan yang juga sangat serius, disampaikan Adelline Syahda dari Konstitusi dan Demokrasi Indisiatif (KODE Inisiatif) terkait rekapitulasi hasil pemilu. Dengan pemilu serentak, perhatian publik lebih pada suara calon presiden dan wakil presiden, sedangkan hasil pemilu legislatif akan banyak terabaikan. Ditambah lagi potensi jual beli suara dan konflik antar caleg dalam satu partai akan semakin menguat.
Terakhir, Hanafi dari Indonesian Parliamentary Center (IPC) menilai, hal paling serius terkait konversi suara menjadi kursi. Konflik antar kandidat dalam satu partai akan mempengaruhi siapa anggota legislatif pilihan rakyat yang akan menduduki parlemen nantinya.