Kepastian hukum menjadi salah satu kunci penyelesaian kasus ini. Hal ini juga misalnya terkait dengan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diterbitkan oleh BPPN kepada sejumlah obligor.
“Kepastian hukum bahwa dia sudah membayar lunas, kemudian dia diberi keterangan lunas, itu harus ditegakkan,” ucapnya.
Supariyanto mengakui, terkait dengan SKL yang sekarang dipermasalahkan kembali oleh pemegak hukum, pada prinsipnya memang merupakan kebijakan dari pemerintah. Menurutnya, ada inpres No 8/2002 terkait dengan penyelesaian kewajiban pemegang saham ini yang memang secara prosedural sudah dilakukan.
“Pengeluaran surat lunas sudah melalui prosedur tadi, di mana untuk SKLnya BDNI misalnya, itu skemanya adalah MSAA (Master Settlement Acquisition Agreement) di mana antara kewajiban obligor itu dibayar dengan sejumlah aset milik obligor yang diserahkan,” ucapnya.
Sedangkan menurut Piter, hingga saat ini informasi terkini mengenai penyelesaian kasus BLBI sendiri jarang disampaikan oleh pemerintah. Karena itu, masyarakat pun tidak mengetahui perkembangan kasus kucuran dana triliunan rupiah demi menyelamatkan perbankan saat krisis terjadi pada 1998 silam. Ia menilai, pembaruan informasi mengenai upaya yang sudah dilakukan pemerintah pun perlu dilakukan.
“Pemberian informasi itu dinilai sebagai bentuk kepastian hukum,” katanya.
Pasalnya, tanpa adanya informasi yang disampaikan kepada masyarakat, akan terbentuk pandangan bahwa pemerintah melakukan pembiaran.
“Tapi, bagaimana kemudian kita menjaga kepastian hukum ini, menjadi penting juga. Yang salah akan ditindaklanjuti, yang sudah bayar akan benar-benar mendapatkan kebebasannya,” tegas Piter.
Kepastian hukum itu harus dijaga, lanjut Piter, karena itu kunci untuk mendapatkan kepercayaan dari semua pihak, baik pihak luar negeri maupun dalam negeri.
Untuk diketahui, sebelum Kementerian Keuangan menangani para obligor ini, ada sebanyak 16 dari para obligor memang sempat ditangani oleh Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI. Pada saat ditangani oleh dua Lembaga penegak hukum itu, penyelesaian ditempuh menggunakan jalur pengadilan alias (court settlement) karena adanya dugaan tindak pidana.
“Namun, dugaan itu tak terbukti. Maka oleh Kejaksaan dan Kepolisian, itu dikembalikan ke Kementerian Keuangan. Dan penyelesaiannya tak lagi lewat pengadilan atau out of settlement. Caranya dengan PUPN,” imbuh Suparyanto.
Setelah diserahkan ke PUPN, tahapan penyelesaian pun dilakukan. PUPN akan melayangkan panggilan kepada obligor. Setelah itu, akan ada pernyataan bersama kesanggupan waktu penyelesaian kewajiban. Jika obligor menyatakan tidak sanggup menyelesaikan kewajibannya, maka akan diterbitkan diterbitkan penetapan jumlah piutang.
“Kemudian, dilakukan penyitaan dan pelelangan,” paparnya.
Masih menurut Suparyanto, terkait aset kredit, kini tinggal 22 obligor yang masih ditangani oleh PUPN. Pasalnya, sudah ada tiga obligor yang menyelesaikan kewajibannya. Yaitu Dewanto Kurniawan sebagai pemilik Bank Deka, Omar Putih Rai sebagai pemilik Bank Tamar dan Group Yasonta sebagai pemilik Bank Namura.
“Sisanya 22 obligor masih di PUPN dan KPKNL. Jumlah utangnya mencapai Rp31,3 triliun dari 22 obligor yang masih kita urus,” katanya.