Jakarta, Klikanggaran.com (19/9/2017) - Era modernisasi memang tidak bisa ditepis sebagai mode baru perilaku manusia. Modernisasi merubah gaya, sikap, dan pola pikir manusia. Bahkan, pemerintahan pun melakukan modernisasi dari sisi transaksi di beberapa sector, dan di beberapa sektor telah berjalan.
Pada era Jokowi, modernisasi listrik berubah dari bayar tunai setiap bulan menjadi token listrik, lalu pembatasan motor di beberapa titik wilayah ibukota, kini pembayaran gerbang tol non tunai dengan program Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT). Hal ini dianggap oleh publik sebagai sikap yang secara perlahan menyingkirkan masyarakat dari kalangan menengah ke bawah. Sikap pemerintah yang menyelenggarakan program Gerakan Nasional Non Tunai ini pun menuai pro-kontra di berbagai kalangan masyarakat.
Perihal token listrik, masyarakat merasa dirugikan mengenai tarif yang tidak sesuai, yaitu dari pembelian token listrik yang harganya Rp50.000, masyarakat hanya mendapatkan listrik sebesar 36 KWH. Kekecewaan belum sirna, kini ditambah dengan masalah pembelian e-Toll untuk pembayaran gerbang tol non tunai. Dari harga voucher Rp50.000, masyarakat hanya mendapatkan Rp30.000 untuk pengisian tersebut.
Suyitno, warga Babelan, Kabupaten Bekasi misalnya. Ia sehari-hari membawa mobil tahun 1990-an, harus antar-jemput hasil pangan Karawang-Bekasi, mengalami kesulitan dari pembatasan umur mobil yang melintas di jalur protokol.
“Dulu kita sempat antar-jemput hasil kebun dengan mobil ke Bekasi-Jakarta-karawang. Karena ada pembatasan usia kendaraan, akhirnya kita hanya antar jemput Bekasi-karawang. Jelas, omzet kita sebagai petani berkurang. Sekarang ditambah lagi dengan pembayaran gerbang tol non tunai, orang sekelas petani kaya saya begini, gak ngerti,” ungkap Suyitno.
Suyitno menambahkan, untuk isi pulsa token listrik saja, dia masih minta tolong anaknya di rumah.
“Kalau listrik di rumah udah mau abis pulsanya, saya minta anak saya untuk beli pulsa dan sekalian pencet-pencet di listriknya. Saya masih kurang kurang ngerti,” lirih Suyitno yang sudah berumur 62 tahun itu.
Lain lagi dengan Jajang Nurjaman, Koordinator Investigasi Central for Budget Analysis (CBA), ketika dihubungi menegaskan bahwa setiap program yang digulirkan pemerintah harus melalui kajian dan sosialisasi yang mendalam. Sehingga seluruh elemen masyarakat mampu menjalankan program pemerintah dengan baik.
“Ingat, bahwa setiap program pemerintah, di dalamnya ada uang seluruh masyarakat Indonesia, jadi program ini jangan hanya melihat mereka yang sudah mapan saja,” tegas Jajang.
Menurut Jajang, pemerintah tidak bisa mengabaikan tingkat sosial yang dimiliki oleh seluruh warga Indonesia.
“Kita ini beragam, masih banyak masyarakat Indonesia yang gagap teknologi. Bahwa uang seribu rupiah sangat berarti, lalu bagaimana ceritanya kalau pembayaran tol itu Rp50.000, tapi yang didapat cuma Rp30.000? Ini mau menyingkirkan masyarakat kelas bawah?” kata Jajang.
Pesan lain dari publik mengatakan, GNNT ini jangan sampai hanya tertuju kepada kalangan elite menengah ke atas, dengan alasan era milenial maupun aspek modernisasi dengan melihat negara-negara maju. Yang dikhawatirkan dari GNNT ini kemudian muncul kesenjangan sosial yang semakin besar, jika GNNT ini berjalan dalam kurun waktu yang tergesa-gesa.
Melalui program GNNT, pemerintah jangan melihat aspek modernisasi kalangan elite mengenah ke atas. Ada masyarakat desa yang kerjanya tidak hanya berada di jalan dengan mobil terbaru dan pemahaman yang up to date.
Jika GNNT ini merupakan hasil Kunjungan Kerja Luar Negeri DPR dan pemerintah, kemudian melakukan perbandingan Indonesia dengan negara-negara yang sudah maju, ini fatal. Pemerintah seperti memaksakan Indonesia harus seperti Negara lain, kemudian gengsinya meningkat melalui pencitraan-pencitraan media.