3 Tahun Jokowi-JK, Semakin Jauh dari 6 Amanat Reformasi?

photo author
- Jumat, 20 Oktober 2017 | 06:32 WIB
images_berita_Okt17_TIM-Jokowi-Jk
images_berita_Okt17_TIM-Jokowi-Jk

Jakarta, Klikanggaran.com (20/10/2017) - Pemerintahan Jokowi-JK akan memasuki tahun ketiga pada hari Jumat, 20 Oktober 2017. Selama tiga tahun, terlihat banyak kebijakan yang telah diambil, terkait infrastruktur pembangunan, peningkatan penarikan pajak, maupun kebijakan pembatasan hak sipil dan politik dalam bentuk peraturan presiden hingga aturan di tingkat kementerian.

Terkait hal tersebut, Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (GEMA DEMOKRASI) yang terdiri dari gerakan buruh, petani, pelajar, mahasiswa, intelektual, anak muda, kelompok keagamaan, jurnalis, aktivis kebebasan ekspresi, pengacara publik, aktivis literasi, dan komunitas seni, memberikan penilaian berbeda.

Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gema Demokrasi) menilai, capaian selama 3 tahun pemerintahan Presiden semakin menjauh dari 6 amanat reformasi yang tertuang di dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi.

Sekalipun cukup banyak tuntutan yang diserukan, namun disepakati oleh Gema Demokrasi, ada enam amanat reformasi itu adalah: (1) Adili Soeharto dan kroni-kroninya (2) Cabut Dwifungsi ABRI (3) Hapuskan budaya KKN (Korupsi-Kolusi-Nepotisme) (4) Otonomi daerah seluas-luasnya (5) Amandemen UUD 1945 (6) Tegakkan supremasi hukum dan budaya demokrasi.

Berikut selengkapnya disampaikan oleh Gema Demokrasi, seperti yang diterima Klikanggaran.com di Jakarta, Kamis (19/10/2017) :

Menjelang peringatan 20 tahun Reformasi tahun depan, menurut Gema Demokrasi cukup banyak catatan yang menandakan enam amanat reformasi ini semakin ditinggalkan dan gagal dijalankan oleh pemerintahan Jokowi-JK.

Pencabutan hak politik tentara dan mengembalikan fungsinya sebagai pelindung rakyat dari ancaman musuh negara adalah keinginan rakyat setelah selama 32 tahun masyarakat Indonesia melihat bagaimana kisruhnya Dwifungsi ABRI. Yakni ketika politik dan senjata bersatu. Sehingga tentara tidak bersikap profesional dan tidak setia melindungi rakyat. Namun, beberapa tahun terakhir, peran sipil dan politik kembali diberikan kepada tentara dengan melibatkan pada pembubaran aksi damai warga, pengusiran warga dalam rangka penggusuran dan pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menjelang HUT ke-71 TNI yang mengusulkan untuk dipulihkannya kembali hak berpolitik aparat TNI.

Selain itu, penghapusan korupsi yang kini memasuki masa-masa rawan saat lembaga anti-rasuah yang lahir dari amanat reformasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru sedang dilemahkan dengan Pansus KPK dan berbagai kriminalisasi yang gencar dilakukan terhadap komisioner, penyidik, dan sejumlah aktivis anti-korupsi yang membongkar kasus-kasus megakorupsi yang melibatkan pejabat dan aparat Negara. Pelemahan KPK dinilai mencapai titik paling mencemaskan, dimana bila sampai KPK dibatasi wewenangnya, maka penghapusan KKN akan semakin sulit dilakukan.

Penyelidikan atas penyerangan terhadap penyidik senior Novel Baswedan dengan air keras seolah mandek setelah berjalan 6 bulan, dengan menyisakan pertanyaan, siapa otak kejahatan ini?

Pernyataan Presiden Jokowi yang berulangkali menyampaikan akan memperkuat KPK sampai hari ini baru sebatas wacana dan perlu dikonkritkan dengan berdiri bersama KPK dan gerakan anti-korupsi.

Selain itu, belakangan ini hukum semakin dipelintir untuk kepentingan oligarki yang bercokol di dalam kekuasaan dan hukum yang ditaklukkan oleh mobokrasi, yang berakibat langsung pada menyempitnya ruang-ruang demokrasi dan penyalahgunaan hukum sebagai sarana mengkriminalisasi mereka yang tidak sependapat dengan kepentingan oligarki dan kelompok vigilante.

Kebijakan reklamasi, penggusuran atas nama pembangunan, pembubaran ormas dengan Perppu Ormas, perlindungan dan pembiaran atas aksi kekerasan dan serangan ke masyarakat sipil oleh kelompok vigilante Front Pembela Islam (FPI), FKPPI, sejumlah Laskar dan lain-lain membuktikan posisi berdiri Presiden Jokowi yang telah mengabaikan hak-hak sipil dan politik masyarakat Indonesia.

Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi secara tegas menunjukkan tujuan reformasi agar Presiden selaku mandataris MPR melakukan sejumlah kebijakan, yaitu:

1. Mengatasi krisis ekonomi dalam waktu sesingkat-singkatnya, terutama untuk menghasilkan stabilitas moneter yang tanggap terhadap pengaruh global dan pemulihan aktivitas usaha nasional.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kit Rose

Tags

Rekomendasi

Terkini

X