Novel “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma mencoba menguak kedudukan perempuan setelah menjadi seorang istri. Fenomena mengenai perempuan di dalam novel tersebut jika ditelisik menggunakan kacamata feminisme, memuat hal yang luar biasa.
Sosok perempuan dalam novel “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma, memuat isu-isu yang kerap disuarakan dalam feminisme. Melalui karyanya, penulis hendak menyampaikan keresahan yang dialami oleh para perempuan.
Menguak Isu Perempuan dengan Sudut Pandang Feminisme
Eksistensi perempuan dalam novel “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma ditulis dengan kompleks dan sangat penting jika dipandang melalui sudut pandang feminisme. Berikut adalah beberapa isu mengenai perempuan dalam novel “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma yang dilihat menggunakan kacamata feminisme.
Kuasa Tubuh Perempuan
Dalam feminisme kerap dibahas mengenai kuasa tubuh perempuan yang masih diatur oleh budaya patriarki atau standardisasi tak bertuan ciptaan masyarakat. Dalam novel tersebut, kuasa tubuh perempuan seolah masih diatur oleh masyarakat.
Setelah menikah, perempuan dituntut untuk segera memiliki anak. Perempuan diposisikan sebagai mesin penghasil anak, tanpa mempertimbahkan persiapan yang matang. Perempuan dianggap belum sempurna jika belum mempunyai anak. Selain itu, jika belum mempunyai anak maka yang akan diburu oleh masyarakat adalah perempuan. Seolah satu-satunya permasalahan terdapat pada tubuh perempuan.
Perempuan dipaksa untuk menjaga tubuh, pola makan, pikiran, tidak boleh banyak bekerja, agar bisa memiliki anak. Namun, laki-laki tidak pernah dipaksa untuk begitu menjaga tubuhnya demi mempunyai anak.
Pada novel “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma, tokoh Amara sebagai perempuan lebih banyak mendapatkan pertanyaan mengenai “Sudah hamil atau belum?” daripada Baron sebagai tokoh laki-laki yang tidak pernah mendapatkan pertanyaan “Sudah berhasil menghamili atau belum?” (Halaman 15).
Selain itu, tubuh perempuan seolah dibuat untuk memenuhi kepuasan laki-laki. Perempuan dituntut untuk menjaga bentuk tubuh demi memenuhi kebutuhan laki-laki. Dalam novel tersebut juga digambarkan bagaimana tokoh Amara diposisikan sebagai objek atas tubuhnya, bahkan setelah melahirkan ia harus tetap memiliki tubuh yang sempurna demi memuaskan suami. Hal tersebut disampaikan dalam kutipan; “Kita rapetin ya, biar Bapak senang,” dokter terkekeh sendiri. (Halaman 54).
Perempuan Makhluk Inferior dalam Rumah Tangga
Dalam feminisme, kedudukan perempuan sebagai makhluk inferior selalu menjadi hal yang tidak habis-habisnya disuarakan. Perempuan selalu diposisikan sebagai makhluk kedua, setelah laki-laki. Perempuan selalu dianggap makhluk lemah, dan bergantung kepada laki-laki.
Bahkan, dalam rumah tangga yang menganut budaya patriarki banyak yang tidak melibatkan perempuan dalam mengambil keputusan karena menganggap laki-laki yang memiliki hak tersebut sebagai makhluk superior.
Hal tersebut juga tergambarkan dalam novel “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma. Di dalam novel tersebut, tokoh perempuan Amara kerap kali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Hal tersebut selalu dilakukan oleh Baron secara sepihak, tanpa melibatkan Amara. Perempuan dalam novel tersebut digambarkan sebagai makhluk yang tunduk, dan tidak memiliki hak untuk menyuarakan pendapatnya.
Ketidakadilan Gender dalam Rumah Tangga