KLIKANGGARAN -- Perempuan tidak pernah berhenti menjadi sasaran untuk mengimplementasikan standar atau peraturan yang diciptakan oleh masyarakat luas. Mulai dari standar usia menikah, hamil, dan melahirkan, standar kecantikan, standar perilaku dan tata krama, standar pekerjaan, dan lain-lain. Segala hal yang berkaitan dengan perempuan, sepertinya tidak pernah lepas dari jangkauan masyarakat dan segala bentuk standardisasi tidak tertulis.
Ditambah lagi, kedudukan perempuan yang selalu dianggap sebagai makhluk inferior, lemah, dan posisinya ada di bawah laki-laki. Herannya, hingga saat ini masih banyak masyarakat yang menganut standardisasi mengenai perempuan tanpa berpikir bahwa hal tersebut justru mengancam hak atas kehidupan perempuan.
Isu mengenai perempuan selalu disuarakan dalam feminisme. Hal tersebut dilakukan agar perempuan dapat memperoleh keadilan di masyarakat. Feminisme mencoba untuk memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan dan melepas segala bentuk standardisasi yang mengatur tubuh bahkan kehidupan perempuan. Feminisme seolah tidak pernah mengambil jeda untuk menyampaikan teriakan-teriakan perempuan yang terkurung dalam budaya patriarki.
Fenomena mengenai perempuan dan standardisasi yang mengikat kedua kaki mereka, selalu menjadi hal menarik untuk diceritakan di dalam karya sastra. Beberapa penulis di Indonesia kerap mengangkat isu-isu mengenai perempuan di dalam karyanya. Hal tersebut dilakukan dengan berbagai macam tujuan, seperti menyampaikan suara ketidakadilan para perempuan, media kritik, atau sekadar menyadarkan masyarakat bahwa isu-isu mengenai budaya patriarki bukan hal yang main-main.
Beberapa novel populer yang di dalamnya memuat isu-isu perempuan, di antaranya adalah novel “Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam” karya Dian Purnomo, “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma, “Gadis Kretek” karya Ratih Kumala, “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur” karya Muhiddin M. Dahlan, dan karya lainnya.
Novel-novel tersebut telah menghiasi dunia sastra dengan isu perempuan di dalamnya. Para penulis menggambarkan bagaimana eksistensi perempuan saat ini, atau beberapa tahun silam. Hingga saat ini, novel-novel populer yang berisikan isu perempuan tidak pernah luput dari pandangan.
Salah satu novel yang membahas perihal perempuan ialah “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma. Novel tersebut dicetak pada Juni 2021, cetakan kedua pada September 2021 dan cetakan ketiga pada Januari 2022.
Novel dengan jumlah halaman yang cukup sedikit yaitu hanya 164 halaman, tetapi mampu menyampaikan dan menggambarkan eksistensi perempuan di dalam rumah tangga. Novel yang terbit di Gramedia Pustaka Utama tersebut, termasuk ke dalam golongan novel pupler dan banyak digemari oleh masyarakat dikarenakan ceritanya yang terasa nyata.
Novel “Lebih Senyap dari Bisikan” menceritakan tentang Amara dan Baron serta kehidupan dalam rumah tangga yang penuh lika-liku. Kehidupan rumah tangga Amara dan Baron tidak luput dari campur tangan keluarga bahkan masyarakat. Ketika sudah menikah, mereka dituntut untuk segera memiliki anak.
Namun, setelah rumah tangga tersebut dikaruniai seorang anak, maka perjuangan tidak berhenti begitu saja. Banyak hal yang lebih kompleks setelah hadirnya seorang anak dalam rumah tangga Amara dan Baron. Konflik yang dihadirkan dalam novel tersebut tidak hanya berkutat perihal rumah tangga, tetapi bagaimana kedudukan perempuan dalam rumah tangga tersebut.
Kelebihan dari novel “Lebih Senyap dari Bisikan” terbilang cukup banyak. Dimulai dari penokohan yang digambarkan dengan sangat kompleks, alur yang jelas dan tidak bertele-tele, serta pesan-pesan bermanfaat yang disampaikan dengan jelas.
Novel tersebut ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat luas, tidak heran novel ini sangat populer. Cerita yang dihadirkan pun sesuai dengan selera masyarakat, karena gambaran kehidupan rumah tangga yang sesuai dengan fakta.
Kekurangan novel “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma, yaitu pada beberapa bagian cerita yang terkesan menggantung. Ketika mendekati akhir cerita, penulis terkesan terburu-buru ingin mengakhiri cerita. Sehingga hal tersebut agak mengganggu pembaca.
Namun, secara keseluruhan novel ini tetap bisa dinikmati dengan baik sebagai hiburan atau media pengetahuan. Semua pesan yang ingin disampaikan penulis melalui novel tersebut juga sangat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, khususnya yang hendak berumah tangga.