Semarang,Klikanggaran.com - Tim Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Jawa Tengah (FITRA Jateng), Maulin Niam, menilai komunikasi-informasi terkait kebijakan Covid-19 masih cenderung asimetris. Ia juga menuturkan, suatu ketika pejabat publik membuat statement tentang informasi tertentu, namun aparat birokrasi terkait belum benar-benar menyiapkan informasi yang akurat.
"Misalnya terkait himbauan Gubernur untuk mengisi formulir pendataan bagi warga terdampak Covid-19 kepada RT/RW setempat atau layanan hotline melalui nomor tertentu, namun nomor tersebut masih belum bisa dihubungi," ujar Maulin pada Klikanggaran.com, Sabtu (18-4).
Terkait pendataan, kata Maulin, sejauh ini Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di masing-masing Kabupaten hanya menyediakan data jumlah per kecamatan. Sementara di tingkat provinsi Jateng, melalui laman https://caribdt.dinsos.jatengprov.go.id/public/dashboard, masyarakat sudah bisa mengakses data jumlah per desa, bahkan penerima by name, by address, dengan memasukkan No KK (Kartu Keluarga).
Menurutnya, akhir-akhir ini banyak Desa melakukan pendataan kembali warga miskin, khususnya untuk penerima BLT, karena Desa tidak memiliki data memadai. Hal ini disebabkan salah satunya antara lain karena pendataan penerima bantuan sosial merupakan kewenangan Pemda.
"Sementara Desa seringkali mendapatkan kritikan dari warga tentang penerima BLT yang salah sasaran. Ini yang menyebabkan perangkat desa enggan berurusan dengan data bantuan karena akan jadi tumpuan kritik warganya. Sebenarnya Desa paham tentang pentingnya melakukan pendataan, namun lebih banyak bersikap menunggu, kecuali Kepala Desa yang memiliki komitmen tinggi atau ada desakan kuat dari warganya," ucapnya.
Maulin juga menjelaskan, bahwa berbicara tentang data kemiskinan, kita juga perlu merujuk data BPS. Data BPS dan DTKS memiliki kriteria yang berbeda dalam menghitung jumlah penduduk miskin.
BPS menggunakan standar garis kemiskinan sebagai batas. DTKS menetapkan jumlah kemiskinan berdasarkan kelompok pendapatan di suatu wilayah, penduduk sangat miskin (desil I) dan miskin (desil II) sebagai fokus sasaran program.
"Perbedaan metode ini tentu menghasilkan data yang tidak sama. Sebagai contoh, menurut data BPS jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah pada tahun 2019 sebanyak 3,743 juta sedangkan DTKS menyebutkan 2,348 juta (desil I dan desil II). Selisih 1,4 juta tentu bukan jumlah yang sedikit," kata Maulin.
Lebih lanjut dikatakan Maulin, S?sebenarnya pada lampiran no 4 Perda APBD 2020 Jateng, terdapat data daftar penerima Bansos dan hibah by name, by address. Namun Data tersebut biasanya berbasis pada pengajuan proposal atau berdasarkan aspirasi dewan.
"Sedangkan DTKS selama ini menjadi basis data utama penerima PKH, KIS, BPNT, yang menjadi urusan pemerintah pusat," tuturnya.
Oleh karena itu, ia menganggap penting Pemprov/Pemda membuka data bansos sesuai jenis program, sumber dana, penerimanya, karena ada juga Bansos dan Hibah dari APBD yang dikelola oleh OPD selain Dinas Sosial (Dinsos).
Maka dari itu, Maulin mengusulkan Pemprov/Pemda mendorong Dinsos bersikap lebih proaktif dan jadi leading sector untuk urusan Bansos, dan Dinsos agar membuka DTKS khususnya terkait jenis program, kegiatan, jumlah penerima hingga tingkat desa untuk mencegah konflik karena kesimpangsiuran informasi.
"Selain itu, menjadikan DTKS sebagai basis data awal bagi pihak-pihak yang melakukan pendataan jaring pengaman sosial. Mendesak Desa menggunakan Dana Desa dan ADD untuk membentuk forum data desa dan melakukan pemetaan kemiskinan partisipatif," pungkasnya.