Palembang,Klikanggaran.com - Polemik yang sedang terjadi antara eksekutif dan legislatif pada pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) tahun 2020, bisa mengakibatkan terjadinya keterlambatan pada proses pengesahanan APBD Provinsi Sumsel tahun 2020. Kedua belah pihak (eksekutif dan legislatif) saling berdalih bahwa tertundanya pengesahan APBD dalam rangka memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Menanggapi hak tersebut, Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Sumatera Selatan (FITRA Sumsel), Nunik Handayani, menegaskan bahwa molornya pembahasan RAPBD tersebut berimbas kepada masyarakat.
"Padahal dengan terlambatnya proses pengesahan RAPBD 2020, maka sebenarnya seluruh masyarakat yang harus menanggung akibatnya, diantaranya adalah kegiatan yang direncanakan tidak akan berjalan karena belum ditetapkan APBD-nya. Hal ini karena APBD merupakan salah satu komponen dasar kebijakan publik daerah yang dalam prosesnya melalui keputusan politik dan ditetapkan Kepala Daerah bersama DPRD untuk dilaksanakan oleh aparat birokrasi daerah," ujar Nunik pada Klikanggaran.com, Sabtu (30-11).
Dijelaskan Nunik, pada proses keputusan politik seharusnya pemerintah dalam hal ini eksekutif dan legislatif harus mengesampingkan ego dari kepentingan kelompok masing-masing dan mestinya harus lebih mengedepankan mekanisme mandat politik warga dalam membuat kebijakan penganggaran daerah.
"Karena ukuran dipenuhinya prinsip politik tidak hanya sekedar ada tidaknya pelibatan legislatif daerah dalam proses penganggaran. Sebagaimana diatur dalam UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan negara pada pasal 3 ayat 1 menyebutkan bahwa keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan," jelas Nunik.
Nunik menuturkan bahwa pertanyaan mendasar dalam prinsip politik anggaran adalah kepada kelompok mana kebijakan anggaran berpihak, dan untuk kegiatan apa kebijakan anggaran dialokasikan.
"Pertanyaan tersebut memang sangat sederhana, tetapi setidaknya kita bisa mengetahui dan memastikan bahwa alokasi anggaran itu merupakan hasil pilihan publik, bukan sebagai hasil pilihan sekelompok orang/golongan tertentu dan merupakan representasi kepentingan publik yang beragam dalam pertarungan politik perebutan sumber daya antar kelompok kepentingan," imbuhnya.
Lebih lanjut dikatakan Nunik, kebijakan anggaran harusnya mampu mencerminkan bentuk hubungan antara rakyat dengan pemerintah, antara warga negara sebagai pembayar pajak dengan aparat pemerintah sebagai penerima dan pengelola pajak dalam suatu mekanisme yang transparan dan akuntabel.
"Pada penentuan pilihan komponen pendapatan atas pemasukan maupun pengeluaran anggaran harusnya didasari oleh rasionalitas publik sehingga pengambilan keputusan proyeksi anggaran atas sektor tertentu lebih besar dibanding proyeksi sektor lainnya dipandang memenuhi rasa keadilan publik. Kebijakan anggaran daerah yang hendak ditetapkan harus benar-benar sesuai dan menjawab kondisi riil, potensi dan aspirasi masyarakat," ujarnya.
Nunik juga menegaskan bahwa penggunaan anggaran publik mestinya dapat dipertanggungjawabkan dan dapat meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat. Singkatnya, keputusan apapun terkait anggaran daerah yang dibuat pemerintah seharusnya ditujukan untuk memecahkan problem-problem publik yang substansial, dan sekaligus menggambarkan adanya kepentingan publik di dalamnya.
"Hal ini cukup mudah dipahami manakala kebijakan anggaran benar-benar diletakkan dalam kerangka perhelatan berbagai kepentingan, baik aktor-aktor di dalam lingkaran sistem politik maupun kelompok kepentingan di luar sistem politik yang berpengaruh dalam arena perebutan sumber daya publik," pungkasnya.