Kewajiban nafkah telah ijma' (konsensus), walau istri kaya dan berpenghasilan sendiri, seperti yang dikatakan Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:
وَاتَّفَقُوا أَن الْحر الَّذِي يقدر على المَال الْبَالِغ الْعَاقِل غير الْمَحْجُور عَلَيْهِ فَعَلَيهِ نَفَقَة زَوجته الَّتِي تزَوجهَا زواجا صَحِيحا إذا دخل بهَا وَهِي مِمَّن تُوطأ وَهِي غير ناشز وَسَوَاء كَانَ لَهَا مَال أَو لم يكن
Para ulama sepakat bahwa laki-laki yang merdeka (bukan budak) yang memiliki harta, baligh, aqil, dalam kondisi tidak ada halangan, wajib memberikan nafkah untuk istrinya yang dinikahi dalam ikatan pernikahan yang sah, dia sudah menggaulinya, baik istrinya orang berharta atau tidak. (Maratibul Ijma', hal. 79)
Maka, memiliki suami rajin ibadah tentu bagus dan patut disyukuri. Sebab, ada juga yang malas ibadah dan malas nafkah sekaligus. Tapi, jangan lupa, ibadah itu bukan hanya shalat, puasa, dan baca Al Quran, tapi juga menafkahi anak dan istri. Anak dan istri itu hakikatnya adalah amanah Allah Ta'ala, bukan dekorasi di rumah tangga. Bahkan menafkahi istri menjadi salah satu ciri orang bertaqwa, seperti yang Allah Ta'ala tegaskan di awal surah Al Baqarah:
وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ
dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Al Baqarah: 3)
Abdullah bin Mas'ud Radhiallahu 'Anhu menjelaskan makna ayat ini:
نفقة الرجل على أهله
Nafkah seorang laki-laki (suami) kepada keluarganya. (Al Mawardi, An Nukat wa Al' Uyun, jilid. 1, hal. 70)
Di sisi lain, istri mesti mendorong, memotivasi suaminya, agar terus berusaha, bekerja, jaga wibawa diri, walau penghasilannya dianggap kecil. Yang penting suami usaha dulu, dan jangan tergesa-gesa minta cerai walau sudah punya alasan untuk itu. Tentunya bersabar dan mencari solusi bersama adalah lebih baik.
Demikian. Wallahu a'lam