“Ya?”
“Ini mau sampai kapan kita pelukan di sini?”
Bunga tertawa. Ia lalu melepaskan diri dari pelukanku. “Ayo makan. Aku lapar. Porsi makanan di kereta hanya sanggup memuaskan satu atau dua cacing. Sementara kamu tahu, kan, Nug, aku memelihara satu batalion cacing,” celotehnya, seperti biasa, sanggup membuat kepenatanku seolah-olah sirna dalam sekejap. Suara Bunga agak berbeda dengan yang biasa kudengar lewat telepon. Mendengarnya langsung terasa begitu melegakan, begitu menyenangkan.
Penulis: Sekar Mayang