Penyelenggara Pemilu Harus Punya Strategi Jitu untuk Cegah Korupsi

photo author
- Sabtu, 5 Desember 2020 | 09:31 WIB
febri
febri


Jakarta, Klikanggaran.com--Ikatan Sarjana NU (ISNU) DKI Jakarta mengadakan Diskusi Tematik Online bertajuk “Mencegah Korupsi Politik dalam Pilkada Serentak 2020”, pada Jumat 4 Desember 2020.


Diskusi ini menghadirkan Ketua Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) RI, Abhan, dan Eks Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah.


Moderator diskusi, Tjoki Aprianda Siregar, menyampaikan, diskusi ini diadakan mengingat Pilkada Serentak 2020 akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Dia pun mengajak masyarakat untuk mendukung digelarnya pesta demokrasi ini supaya berjalan lancar dan aman.


"Pilkada perlu didukung sebagai warga negara yang baik. Semoga berjalan lancar dan baik Pilkada Serentak ini," kata Tjoki.


Ketua Bawaslu Abhan menyampaikan, tiap pemilu pasti memiliki potensi terjadinya korupsi politik. Menurut Abhan, korupsi politik adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan politik.


Abhan melanjutkan, korupsi politik terjadi ketika politisi atau badan negara yang memiliki kewenangan membuat undang-undang melakukan praktik korupsi."Dalam definisi yang lebih tegas, korupsi politik mencakup pembuatan kebijakan politik," kata Abhan.


Menurut Abhan, bentuk-bentuk korupsi politik yakni penyuapan, pembelian suara, dan nepotisme.


Sementara itu, Febri Diansyah menilai, potensi korupsi politik akan tetap terbuka lebar selama lembaga penyelenggara pemilu tidak memiliki strategi jitu untuk meminimalisir praktik itu.


Febri menyampaikan, salah satu isu yang perlu menjadi fokus penyelenggara pemilu yakni aliran dana kampanye calon kepala daerah. Menurut Febri, penyelenggara pemilu tidak bisa begitu saja menerima laporan aliran dana kampanye calon kepala daerah. Penyelenggara pemilu perlu menelisik lebih jauh potensi korupsi dari aliran dana tersebut.


Hal itu perlu dilakukan mengingat banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi karena sebelumnya mendapatkan bantuan dana kampanye dari para cukong.


"Tentu bantuan dana itu tidak gratis. Saat menjadi kepala daerah, dia akan mengambil keputusan dan mengalokasikan anggaran yang berpotensi menimbulkan korupsi, hal itu berangkat dari memfasilitasi cukong-cukong yang mendanai mereka dari pemilu," kata Febri.


Baca juga: Diduga, KPK OTT Pejabat Kemensos terkait Bansos Covid-19


Menurut Febri, banyaknya kasus korupsi politik itu yang membuat angka Corruption Perception Index (CPI) 2019 untuk Indonesia masih kecil, yakni 40 poin. Poin ini, kata Febri, masih sangat jauh jika dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia.


Febri menjelaskan, CPI menunjukan persepsi internasional terhadap praktik dan penanganan korupsi di Indonesia. Ada 9 hal yang menjadi indikator dalam CPI. Tiga di antaranya masih menunjukan hasil yang kurang memuaskan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Tim Berita

Tags

Rekomendasi

Terkini

X