bisnis

Santet dan Perdukunan Seputar Bisnis Kuliner

Minggu, 20 November 2016 | 09:50 WIB
images_berita_Nov16_TIM-Santet

Jakarta, Klikanggaran.com - Jagad raya ini boleh berkembang, ilmu dan tehnologi boleh melejit kian canggih. Tapi, hal itu rupanya tak dapat menimbun dunia supranatural begitu saja. Pada beberapa ceruk perputaran waktu dan kesempatan, perdukunan masih bebas melanglang buana menyelusup di antara warna-warni kehidupan.

Antono Purnomo adalah salah satu saksi tentang adanya satu sisi kehidupan tersebut. Pada wall facebook-nya, dia menuturkan pengalamannya, juga berbagi kisah yang dialami oleh teman dekatnya. Berikut penuturannya tentang santet dan perdukunan dalam bisnis kuliner:

 

Kemaren saya terhenyak mendengar warung milik teman saya yang terletak di sebuah mal, ternyata harus ditutup. Padahal beberapa kali saya ke sana selalu kehabisan. Lantaran itu saya berasumsi bahwa bisnis teman saya itu berjalan lancar jaya. Buktinya selalu sold out. Tetapi, ternyata tidak demikian keadaan sesungguhnya.

Ketika saya tanyakan penyebab ia menutup bisnis kulinernya, ia pun menceritakan tentang betapa tidak sehat (dan tidak masuk akal) persaingan yang terjadi antar pemilik usaha. Hal itu terkait dengan penggunaan cara yang secara umum kita kenal dengan istilah magic, atau perdukunan.

Artinya, agar dapat menarik pelanggan, lazim bagi para pemilik bisnis kuliner untuk menggunakan jasa dukun (dan tuyul). Dan, sebagai bagian dari upaya tersebut mereka tidak segan-segan meminta dukun untuk menyerang para pesaingnya.

Itulah yang dialami teman saya ini, sampai bisnis kuliner yang baru seumur jagung itu harus tutup karena menerima serangan demi serangan.

Beberapa tahun lalu, saya pernah mewawancarai salah seorang pakar kuliner Indonesia, Pak Bondan "Maknyus" Winarno. Salah satu pertanyaan saya adalah, 'apa yang paling ia takuti?' Jawabannya mengejutkan saya: saya takut disantet.

Mengapa jawaban itu mengejutkan? Karena saya tidak pernah menyangka ia akan menyebutkan hal itu. 'Masa, seorang Bondan Winarno takut disantet?'

Lalu, Pak Bondan menjelaskan kepada saya, bahwa ia memperkirakan 99 persen bisnis kuliner di Indonesia menggunakan jasa dukun atau magic sebagai penglaris. Kalaupun bukan pebisnis kulinernya, misalnya fast food franchise dari luar negeri, maka pemilik tempatnya yang "bermain".

Lantaran hal itulah Pak Bondan menjawab bahwa ia paling takut disantet. Disantet oleh para pemilik bisnis kuliner yang tidak terima dengan kritiknya, atau hanya lantaran menolak memberi cap "maknyus" yang legendaris itu sebagai pertanda jaminan mutu.

Kejadian yang menimpa teman saya itu bukan yang pertama kali saya dengar. Tetangga saya pun harus berhadapan dengan ilmu hitam ketika warungnya dianggap sebagai ancaman warung lain. Ketika ia memutuskan menutup warung dan membuka rumah makan di tempat yang jauh dari warung pertamanya, lagi-lagi ia kena dikerjain oleh pesaingnya. Lain orang, lain tempat, lain bisnis. Bahkan, mantan asisten rumah tangga kami yang membuka usaha nasi rames bermodal meja tua di pinggir jalan pun, tidak lepas dari dikerjain pesaingnya.

Hal ini menjadi pertanyaan besar di benak saya, 'sudah sedemikian rusaknyakah, moral dan mental masyarakat kita, sehingga rela menghalalkan segala cara demi memperoleh keuntungan?'

Wallahualam. Nyatanya, para pebisnis kuliner yang polos selalu tumbang berguguran karena masakannya cepat basi padahal baru diangkat dari penggorengan, bau busuk menyengat di warung yang tidak bisa dihilangkan dengan pembersih apa pun, paranoid karena merasa dihantui sampai-sampai harus melarikan diri dari rumah dalam keadaan telanjang, sampai muntah darah bercampur silet dan peniti. Astaghfirullahaladzimi...

Halaman:

Tags

Terkini