(KLIKANGGARAN) – Keluhan datang dari petani tebu Tanah Air yang menyampaikan aspirasi mereka ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait persoalan impor gula dan etanol. Mereka menilai kebijakan impor yang tak terkendali telah membuat hasil panen lokal menumpuk dan sulit terserap.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI), Nur Khabsyin, menyebut stok gula yang belum terjual kini sudah mencapai 100 ribu ton. Kondisi ini dikhawatirkan memperburuk masa depan petani.
Menurut Nur, akar masalahnya muncul setelah adanya perubahan regulasi. Ia menyoroti Permendag Nomor 16 Tahun 2025 yang mencabut aturan mengenai persetujuan impor.
“Dengan aturan baru, pasal 93 tentang persetujuan impor dicabut," jelas Nur saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI di Gedung Parlemen RI, Jakarta, Rabu, 20 Agustus 2025.
"Artinya tidak ada lagi rekomendasi dari Kemenperin, tidak ada kuota, dan neraca komoditas juga hilang. Akibatnya, impor berjalan tanpa kontrol,” imbuhnya.
Situasi ini, kata Nur, membuat perusahaan bebas memasukkan etanol dari luar negeri tanpa persetujuan resmi. Padahal, aturan lama di Permendag Nomor 8 Tahun 2024 masih mewajibkan mekanisme perizinan impor.
“Kami berharap ada revisi. Permendag sebaiknya dikembalikan ke aturan lama, yakni Permendag 8 tahun 2024, di mana mekanisme persetujuan impor tetap ada,” ungkapnya.
Impor yang tanpa batas ini juga memukul pasar turunan tebu, termasuk etanol dan tetes tebu. Banyak pabrik yang seharusnya menyerap produk petani kini justru beralih ke produk impor.
Padahal, jelas Nur, produksi tetes tebu lokal sebenarnya surplus. Pada tahun 2024, total produksi tetes mencapai 1,6 juta ton, sementara kebutuhan hanya 1,1 juta ton. Sisanya sekitar 494 ribu ton diekspor karena kelebihan produksi.
“Kalau sudah surplus, mestinya tidak ada alasan untuk impor. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, impor malah dibebaskan. Kami bingung dengan arah kebijakan ini,” tegas Nur.
Hal serupa terjadi pada produksi etanol. Kapasitas pabrik nasional sebenarnya mencapai 303 ribu kiloliter, tetapi realisasi hanya sekitar 160 ribu kiloliter karena pasarnya dikuasai produk impor.