Jakarta,Klikanggaran.com - Menteri BUMN, Erick Thohir, menyebutkan karyawan swasta dengan gaji di bawah 5 juta akan mendapatkan bantuan sebesar Rp600 ribu per bulan selama empat bulan.
“Bantuan Rp600 ribu setiap bulan akan diberikan selama empat bulan,” kata Erick dalam rilis tertulisnya seperti diterima redaksi, Kamis (6-8).
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jendral Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Misbah Hasan, menuturkan kebijakan tersebut sangat bagus meskipun rentan menimbulkan kecemburuan sosial.
"Sebenarnya ini kebijakan yang bagus, tapi sangat rentan terhadap ketidaktepatan sasaran dan kecemburuan sosial. Skema ini bagus untuk melindungi pekerja formal/informal dan membantu perusahaan tetap berjalan, tidak melakukan PHK. Kerentanannya atau potensi masalahnya ada pada data pekerja yang menjadi dasar pemberian bantuan yang akan berbasis data peserta BPJS ketenagakerjaan," ujar Misbah pada Klikanggaran.com, Sabtu (8-8).
Alasannya, kata Misbah, banyak perusahaan belum mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS ketenagakerjaan. Jadi ada potensi banyak pekerja yang mestinya harus menerima tapi justru tidak menjadi sasaran program karena tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan (exclution error data).
"Selain itu, selama ini umum diketahui adanya praktek perusahaan sering melaporkan gaji karyawannya di bawah nilai gaji sebenarnya untuk tujuan mengurangi nilai kewajiban pembayaran iuran BPJS. Artinya ada potensi penerima bantuan ini justru mereka yang pendapatannya sebenarnya sudah tinggi (di atas Rp5 juta), bukannya mereka yang belum terdaftar di BPJS. (inclution error data)," jelasnya.
Menurut Misbah, kerentanan lain yang mendapat support anggaran ini adalah pekerja-pekerja di perusahaan besar yang selama ini mengemplang pajak, atau perusahaan yang dengan skema PEN juga mendapat keringanan pajak, dana talangan, dan lain-lain. Jadi untung dobel. Lobi-lobi pengusaha besar juga bisa terjadi agar pekerjanya diprioritaskan mendapat support dana ini.
"Mengingat besarnya potensi salah sasaran terkait validitas data tsb, pemerintah bisa mencari cara untuk mendapatkan data yang lebih mendekati kondisi sebenarnya."
"Data kepersetaan BPJS bisa jadi rujukan umum, namun sebaiknya disertai dengan langkah untuk melakukan verifikasi dan vaidasi ke perusahaan-perusahaan. Atau cara lain, membuka peluang bagi perusahaan untuk melaporkan data pekerja mereka yang pendapatannya di bawah Rp 5 juta," ungkapnya.
Lanjut dikatakan Misbah, berdasar data BPJS Ketenagakerjaan jumlah pekerja yang bergaji di bawah Rp5 juta ada 13,8 juta pekerja. Ini yang perlu diverivali. Langkah lain yang adalah membangun komunikasi dengan serikat pekerja/serikat buruh untuk pendataan/pengaduan/pengawasan pekerja yang berhak namun belum masuk daftar penerima.
"Berikutnya, harus ada posko (centra) pengaduan bagi pekerja formal/informal yang dirugikan, yang seharusnya masuk daftar tapi tidak terdaftar atau sebaliknya. (Inclution & Exclution Error data). Anggaran sebesar Rp33,1 triliun yang rencananya disediakan sebenarnya relatif kecil, hanya 0,01 persen dari total APBN 2020."
"Di tengah kebingungan Pemerintah melakukan percepatan penyerapan anggaran, program semacam ini bisa menjadi terobosan alternatif, dibanding digunakan untuk perjalanan dinas," pungkasnya.