Derita bagi Negara dan Rakyatnya, Karena Kesalahan Pengelolaan Migas?

photo author
- Jumat, 15 Mei 2020 | 04:00 WIB
Pengelolaan Minyak
Pengelolaan Minyak


Jakarta, Klikanggaran.com – Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI sekaligus pemerhati bidang mineral, batubara, dan perminyakan, mengatakan, “Dengan telah ditetapkan nilai ICP (Indonesia Crude Price) adalah USD 20,66 per barel oleh Keputusan Menteri ESDM nomor 95 K/12/MEN/2020 pada 8 Mei 2020, maka itulah menjadi patokan dasar perhitungan kontrak migas di Indonesia. ICP digunakan untuk menghitung pendapatan dan perhitungan pengembalian investasi, biaya operasi, dan over head kontraktor atau cost recovery. Pada umumnya di kontrak PSC para pihak seperti SKK Migas dan KKKS berbagi minyak atau inkind.”


Yusri juga mengulas, beberapa KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama ) seperti Chevron, British Petroleum, Exxon Mobil, Petrocina, Medco, Pertamina, dan lainnya, berbagi hasil dengan Pemerintah Indonesia yang diwakili SKK Migas. Namun, penetapan angka ICP kita juga masih dianggap kontroversial oleh banyak pihak, karena ditetapkan selain mengacu ke harga dated brent, tetapi tidak memperhitungkan bahwa Pertamina memiliki kilang yang merupakan pembeli terbesar dan terdekat crude oil yang diproduksikan di Indonesia.


“Merupakan suatu kejanggalan, ICP atau OSP (Official Seling Price) Indonesia ditetapkan dengan mengacu pasar Eropa dengan crude referensi yang diproduksikan di Norwegia. Karena penetapan OSP bukan hanya sekedar dari crude assay, tetapi market dan pembeli harus diperhitungkan juga,” ujar Yusri di Jakarta, Kamis (14/05/2020).


“Sehingga sampai saat ini nilai ICP yang menganut Brent ditetapkan itu lebih dianggap menguntungkan KKKS. ICP condong under value, sehingga Indonesia harus membagi jumlah minyak yang lebih besar untuk cost recovery. Bahkan dalam kondisi harga minyak seperti saat ini, maka hampir semua minyak yang diproduksikan hanya digunakan untuk membayar cost recovery. Indonesia atau SKK Migas hanya mendapatkan kurang dari 10 persen minyak yang diproduksikan,” lanjutnya.


Menurut Yusri, seharusnya kita tidak boleh hanya menerima bagi hasil di FTP (First Tranche Petroleum) atau bagi hasil yang kecil atau reveneu yang tidak digunakan untuk perhitungan bayar cost recovery.


Oleh karena itu menurut Yusri, perlu kiranya Kementerian ESDM membuka ke publik tata cara penetapan ICP tersebut, agar tidak menimbulkan kecurigaan ada pihak-pihak yang mengatur untuk menguntungkan segelintir pihak dan berpotensi merugikan negara.


Diketahui, rata-rata biaya pokok produksi sumur-sumur minyak kita di onshore dan offshore berkisar USD 30 hingga USD 35 per barelnya, maka dengan dipatok harga ICP USD 20,66 per barel, menurut Yusri itu artinya, setiap barel minyak yang diproduksi di Indonesia saat harga minyak lagi ambyar, maka negara tekor sekitar USD 10 hingga USD 15 per barel. Maka kalau produksi nasional kita saat ini 700.000 BOPD, maka setiap hari negara dan KKKS bisa tekor sekitar USD 70 juta setiap harinya, sehingga minyak mentah dari sumur kita tak cukup untuk menutup cost recovery.


Berdasar ulasan di atas Yusri mengatakan, tidak tepat juga alasan Dirut Pertamina di berbagai media yang menyatakan bahwa salah satu faktor Pertamina belum bisa menurunkan harga minyaknya karena dipaksa beli minyak KKKS yang lebih mahal dari minyak import.


Memang, kata Yusri, ada kewajiban KKKS menawarkan minyak mentahnyaya ke Pertamina terlebih dahulu sebelum dieksport itu diatur oleh Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018 tentu berbasiskan hubungan bisnis to bisnis. Artinya, kalau harga yang dipatok KKKS itu ICP +++ (USD 7 sd USD 12) dan harganya jauh lebih mahal dari harga minyak di pasar dunia dan Singapore, tentu tidak kewajiban bagi Pertamina harus membeli minyak mentah KKKS, kecuali milik bagian negara.


“Oleh karena itu janganlah kita sering melakukan sebuah kebohongan untuk menutup kebohongan lainnya, tentu pada saatnya publik bisa mudah mengetahuinya,” kata Yusri.


Yusri berpendapat, sudah saatnya Direksi Pertamina harus jujur bicara ke publik, apa alasan yang paling mendasar belum menurunkan harga BBM Umum sesuai Kepmen Nomor 62 Tahun 2020 yang sudah berjalan hampir dua bulan, sementara semua negara negara Asean sudah menurunkannya beberapa kali dalam dua bulan belakangan.


“Jangan-jangan Direksi Pertamina lagi menutup ada penyakit akut di dalam proses bisnis sebelumnya. Seperti akusisi blok migas di luar negeri, kontrak-kontrak panjang LNG dan belum transparannya proses tender di ISC, karena perputaran uang Pertamina hampir 70 persen di ISC (Integrated Supply Chain) dari RKAP tahunan,” ujar Yusri.


Hal lain yang menurut Yusri tak lucu dan aneh, di negara kita kalau minyak mentah itu diekspor dibebaskan dari pajak, akan tetapi bisa dijual ke dalam negeri malah dikenakan pajak. Menurutnya, itulah penyebab utama mengapa banyak minyak milik KKKS di eksport selama ini, bahkan minyak Minas dan Duri yang seharusnya sangat dibutuhkan untuk kilang Pertamina, akan tetapi oleh oknum SKK Migas dieksport dan diambil oleh Kernell Oil di tahun 2009 hingga 2012.


“Padahal di negara lain malah melakukan hal yang terbalik dengan apa yang dilakukan negara kita. Contohnya PI Pertamina di Malaysia, kalau mau dibawa ke Indonesia akan dikenai pajak 5 - 10 persen,” ujar Yusri.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X