Jakarta,Klikanggaran.com - Lembaga perwakilan rakyat, baik DPR, DPD, dan DPRD, disarankan untuk fokus menangani wabah Covid 19, dengan melaksanakan fungsi pengawasan agar kebijakan eksekutif berjalan efektif. Demikian diungkapkan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Prof Jimly Asshiddiqie, terkait pembahasan RUU Mineral dan Batubara (Minrrba) di DPR RI.
"Sebaiknya DPR, DPD dan DPRD fokus dulu urusan Covid-19. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, di atas segala yang dianggap penting lainnya. Fokuslah melaksanakan fungsi pengawasan agar semua kebijakan eksekutif baik pusat maupun daerah benar-benar berjalan efektif di lapangan," ungkap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI yang kini juga menjadi Anggota DPD RI ini.
"Stop dulu berfikir untuk membuat kebijakan baru dengan UU atau pun Perda. Tunda dulu semua urusan RUU apapun atau Ranperda apapun. Soal keselamatan kita diselesaikan dulu," sambungnya.
Jimly juga mengatakan, agar krisis Covid-19 tidak disalahgunakan untuk mengabaikan kepentingan rakyat.
"Partisipasi masyarakat dan perdebatan substantif kebijakan baru di bidang apapun menyangkut kepentingan umum, jangan disalahgunakan krisis Covid-19 untuk abaikan kepentingan rakyat yang berdaulat yang tidak DPR bersuara karena kesibukan hadapi wabah Covid-19," ungkap mantan Ketua DKPP tersebut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman menyatakan tak kalah keheranannya atas sepak terjang Panitia Kerja (Panja) RUU Minerba DPR RI.
"Memang aneh Panja RUU Minerba ini, entah untuk kepentingan siapa sehingga begitu semangatnya membahas RUU Minerba yang sesungguhnya tidaklah prioritas, karena UU Minerba nomor 4 tahun 2009 sudah jauh lebih sempurna, hanya membuat aturan turunannya yang sebetulnya banyak ngawur, sehingga PP nomor 23 tahun 2010 itu sudah direvisi 5 kali, bahkan mau ke 6 tapi untung KPK memberikan rekomendasi untuk dihentikan, yang anehnya lagi Kita ajak dialog gak mau jawab, emang mereka kerja untuk siapa? Untuk rakyat atau cukong sih?" ungkap Yusri Usman.
Menurut Yusri, RUU Migas sebenarnya jauh lebih penting untuk diselesaikan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Tanggal 13 November 2012 yang telah membatalkan beberapa pasal UU Nomor 22 Tahun 2001. Salah satu korbannya, BP Migas dibubarkan.
Sebelumnya, ditemukan dokumen surat Ketua Komisi VII DPR tertanggal 20 Januari 2020 yang menyatakan bahwa RUU Minerba yang sempat diusulkan oleh DPR-RI periode 2014-2019 sampai berakhirnya belum sempat membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM).
Ketua Komisi VII dalam surat itu menyatakan sehingga RUU Minerba ini tidak layak dilanjutkan pembahasan (tidak bisa di carry over) ke dalam Prolegnas DPR RI 2019-2024, akan tetapi harus diulang lagi dari awal pembahasannya. Namun anehnya, entah dengan pertimbangan apa, RUU Minerba tersebut dilanjutkan pembahasannya (carry over).
Selain itu, menurut Wakil Ketua Panja RUU Minerba Sugeng Suparwoto, bahwa semua 938 DIM sudah tuntas dibahas dalam 9 hari bersama perwakilan Pemerintah pada tanggal 27 Febuari 2020, dan Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel telah mengundang Pemerintah melalui 4 Menteri untuk menggelar Pembahasan Tingkat I, yang tujuannya untuk mensahkan naskah RUU Minerba pada tanggal 8 April 2020, meskipun mendadak ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan dengan alasan Covid 19.
Selain itu, menurut UUD RI 1945, dan UU Nomor 13 Tahun 2019 yang merupakan perubahan ketiga UU Nomor 17 tahun 2014 serta UU Nomor 15 Tahun 2018 yang merupakan perubahan dari UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Udangan dan Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 bahwa apabila RUU Minerba diusulkan oleh DPR, maka DIM diajukan oleh Presiden dan DPD, dan keikutsertaan DPD dalam pembahasan hanya pada tingkat 1.
Pimpinan DPR RI belakangan diketahui ternyata baru menyurati Pimpinan DPD RI pada tanggal 16 Maret 2020 dan infonya baru diterima di sekretariat DPD RI pada tanggal 1 April 2020. Padahal akhir Februari 2020, DIM telah selesai dibahas oleh DPR dengan Pemerintah.