Patut Diduga PTBA Jadikan Masyarakat Tamu di Rumah Sendiri

photo author
- Jumat, 10 Januari 2020 | 12:57 WIB
IMG_20200102_114210
IMG_20200102_114210


Palembang, Klikanggaran.com

 

Tanah Lematang Ilir Ogan Tengah menyimpan deposit besar mineral batubara yang harusnya menjadikan masyarakat ulayat LIOT sejahtera lahir dan batin. Namun, tidak demikian dengan kenyataan yang ada, masyarakat LIOT seakan menjadi tamu di rumah sendiri.

 

Triliunan rupiah uang hasil penjualan emas hitam dinikmati segelintir orang yang mendapat kuasa pertambangan batubara. Dan besaran penerimaan Pemerintah pusat berupa royalty keuntungan. Sementara, kerusakan lingkungan dan kerusakan ekosistem hutan hujan tropis harus dinikmati masyarakat dengan ikhlas dan tak kuasa menolak.

 

Simak laporan keuangan PT Bukit Asam yang menyajikan keuntungan dari eksploitasi mineral batubara di Muara Enim dan Lahat. Dimana, tahun 2011 keuntungan PT Bukit Asam sebesar Rp3,088,068.000.000.

 

Selanjutnya, tahun 2012 sebesar Rp2,909,421.000.000, tahun 2013 sebesar Rp1,854,281.000.000, dan selanjutnya tahun 2014 senilai Rp1,863,781.000.000.

 

Keuntungan PT Bukit Asam pada tahun 2015 meningkat menjadi Rp2,037,111.000.000. Selanjutnya 2016 sebesar Rp2,024,405.000.000, kemudian tahun 2017 meningkat tajam sebesar Rp4,547,232.000.000. Dan tahun 2018 meningkat lagi menjadi Rp5,121,112.000.000.

 


 

Berbanding terbalik dengan sumbangan PT Bukit Asam ke Pemerintah Daerah Muara Enim, Lahat dan Pemerintah Provinsi sumatera Selatan. Dari tahun 2011 sampai tahun 2014 Pemerintah Kabupaten Muara Enim mendapat sumbangan Rp16 miliar per tahun, kemudian meningkat menjadi Rp18 miliar per tahun dari 2015 sampai tahun 2017 sebesar Rp18 miliar, dan kemudian meningkat kembali tahun 2018 menjadi Rp21 miliar.

 

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Lahat mendapat sumbangan PTBA dari tahun 2011 sampai dengan saat ini stagnan pada nominal Rp10 miliar per tahun. Dan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mendapat sumbangan Rp14,5 miliar per tahun dari PT Bukit Asam.

 

Lantas, bagaimanakah dengan penyisihan dana pasca tambang untuk memperbaiki lingkungan setelah usai penambangan. Seperti apa penggunaanya dan berapa besar deposit yang ada di kas PT Bukit Asam, serta apa dampak lingkungan yang nyata?

 

Laporan keuangan atau financial report PT Bukit Asam mencantumkan nominal deposit dan penggunaanya. Pada tahun 2011 PT Bukit Asam mendepositkan dana pasca tambang pada awal tahun sebesar Rp211 miliar dan menambah deposit sebesar Rp54 miliar, serta menggunakan dana pasca tambang sebesar Rp24 milyar.

 

Selanjutnya, tahun 2012 PTBA mendeposit pada awal tahun dana pasca tambang sebesar Rp241 miliar dan menambah deposit sebesar Rp60 miliar dan menggunakan dana pasca tambang sebesar Rp32 miliar.

 

Kemudian, tahun 2013 PTBA pada awal tahun mempunyai deposit dana Pasca Tambang sebesar Rp269 miliar dan menambah deposit sebesar Rp68 miliar dan menggunakan dana pasca tambang sebesar Rp67 miliar.

 

Selanjutnya, pada tahun 2014 saldo awal dana pasca tambang sebesar Rp270 miliar dan penambahan dana pasca tambang sebesar Rp71 miliar dan menggunakan dana pasca tambang sebesar Rp104 miliar.

 

Menjadi pertanyaan, “seperti apa penyaluran dana pasca tambang oleh PTBA dan apa dampak nyata perbaikan lingkungan dengan dana pasca tambang ini”.

 

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Perwakilan Sumbagsel melalui Deputy MAKI, Feri Kurniawan menyampaikan pendapatnya, menurutnya eksploitasi batubara oleh pengusaha swasta pada awalnya melanggar pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, namun setelah amandemen UUD 1945, maka individu atau perorangan dengan badan hukum dapat menguasai harkat hidup orang banyak tersebut dengan berbagai persyaratan.

 

“Namun tidak menjadi lebih baik ketika Badan Usaha Milik Negara yang meng eksploitasi bumi dan tanah sesuai amanah Undang-Undang 1945 karena keterlibatan masyarakat di dalam pengelolaan sumber daya alam ini sangat kurang sekali," ucap Feri.

 

Apalagi sejak tahun 2007 terjadi perubahan mengenai tata kelola dana CSR berupa dana PK dan BL dimana dana CSR dimasukkan menjadi beban produksi, hingga penggunaan dan penyaluran dana CSR patut diduga tidak transparan.

 

“Belum lagi ketidak transparanan PT Bukit Asam dalam mengambil kebijakan perusahaan seperti akuisisi saham dan pemotongan Pajak Bumi dan Bangunan yang berdampak pada berkurangnya PAD daerah, begitu kompleks karena dewan Direksi dan Komisaris sebagian diangkat diduga karena usulan partai politik pemenang Pemilu”, ucap Feri di akhir komentarnya.

 


 


Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Tim Berita

Tags

Rekomendasi

Terkini

X