Jakarta,Klikanggaran.com - Taufik Gonda selaku pengamat kebijkan publik turut prihatin terhadap Perum Bulog (Persero) yang sedang dilanda permasalahan serius mengenai keuangan perusahaan. Seperti dikabarkan,kisah berdarah-darahnya perusahaan pelat merah tersebut dalam menjaga keberlangsungan perusahaan sampai - sampai mencetuskan ingin menjual dedak sebagai trobosan cemerlang.
"Sebenarnya Perum Bulog dari tahun ke tahun selalu dilanda mengenai masalah keuangan perusahaan. Ditahun 2017 saja,diketahui bahwa Perum Bulog belum menerima harga tebus subsidi beras bagi masyarakat berpendapatan rendah sebesar Rp13.055.642.875,00, beras turun mutu pada empat divre senilai Rp64,9 milyar dan Perum Bulog belum menerima penggantian pengadaan gabah/beras dengan harga fleksibilitas minimal sebesar Rp347.757.039.500,00, serta menanggung beban bunga sebesar Rp23.212.063.151,47, dan pengajuan margin fee sebesar Rp23.908.183.750,00 tidak tepat," Ujar Taufik pada Klikanggaran.com Sabtu,(2/11/2019).
Dalam diskusinya, Taufik mengatakan pengelolaan keuangan Perum Bulog memasuki zona kritis. Ini merupakan tantangan serius dalam keberlangsungan etinitas tersebut.
"Mengapa demikian,hal tersebut nampak jelas pada tahun 2018 lalu yang sangat tercerminkan sehingga membawa keprihatinan atas perusahaan tersebut dalam keberlangsungannya sebagai BUMN. Pasalnya,Perum BULOG terlambat menyetor hasil penjualan beras operasi pasar CBP ke Kas Negara sebesar Rp1.032.962.317.774,00, belum menyetor ke Kas Negara per 31 Desember sebesar Rp888.686.999.287,00 dan belum menerima pendapatan atas talangan penyaluran CBP dari pemerintah sebesar Rp649.429.764.094,58. Ini ada apa? Disini aja sudah nampak kejanggalan," Tegas Taufik.
Lanjutnya,belum lagi ditambah dengan menumpuknya hutang hingga menembus angka Rp28 triliun serta kemampuan komersial yang kecil hanya kisaran 20% karena tidak menguasai pangsa sehingga tidak bisa menembus pasar.
"Bulog perlu membuat koordinasi dengan BUMN lain untuk menyelesaikan masalah keuangan. Budi Waseso pernah bilang, utang Perum Bulog mencapai Rp28 triliun hingga posisi September 2019, ini sungguh luar biasa besar. Belum lagi ditambah masalah penurunan mutu beras karena terlalu lama disimpan sehingga nilai jual menyusut dan berpotensi merugikan perusahaan." Jelas Taufik.
Untuk itu, kata Taufik, jika memang benar ide brilian seperti dicetuskan Direktur Utama, Budi Waseso, yakni langkah cemerlangnya menjual dedak, saya anggap sah-sah saja selagi pengelolaan nya terpantau dan diawasi.
"Memang boleh becermin dengan perusahaan yang sudah mapan,dikutip dari ranch market harga dedak memang cukup mahal sih. Tapi,mampukah Bulog memasarkannya kedepan dan membawa garansi perubahan signifikan. Sebab,jika terlalu ambisius berbisnis maka apapun rintangan akan dihadapi,meskipun dampak negativnya mengarah pada kerugian besar. Nah,disini perlu digarisbawahi, jika mengalami kerugian, apa mau Dirut bertanggung jawab atas BUMN yang ia pimpin?," Ujar Taufik.
Lanjutnya,Taufik justru menekankan jangan terlalu mudah mengambil langkah, apalagi ide tersebut datang sesaat dalam pemikiran belaka, sebab yang dipertahankan disini perusahaan negara.
"Sebaiknya saran saya evalusai dulu pengelolaan keuangan Perum Bulog yang selama ini bermasalah, apalagi tunjangan transportasi direksi yang jelas jelas memboroskan keuangan perusahaan Perum Bulog sendiri, selsaikan saja itu dulu, baru mencetuskan ide relevan yang sudah melalui jajak pendapat terhadap BUMN yang lain." Pungkasnya.