Jakarta, Klikanggaran.com (11-02-2019) – Divestasi saham PT Freeport Indonesia ternyata masih menyimpan sederet permasalahan. Kabar terbaru, surat terbuka dilayangkan oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan SDA Minerba, pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam surat terbukanya, para pengamat yang bersatu dalam Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan SDA Minerba ini, meminta agar KPK melakukan penyelidikan terkait tahapan divestasi saham PT Freeport Indonesia. Mereka di antaranya adalah DR Marwan Batubara, IRESS, Budi Santoso, IPM, CPI, MAusIMM CIRUSS, Yusri Usman, CERI, Dr Ahmad Redi SH, KJI, dan Bisman Bakhtiar SH. MH., MM, PUSHEP.
Koalisi Rakyat Bicara
Berikut disampaikan oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan SDA Minerba, diterima Klikanggaran.com pada Minggu, 10 Februari 2019:
Merujuk pernyataan Direktur Utama holding tambang PT Inalum, Budi Gulnadi Sadikin (BGS), di berbagai media pada hari Jumat, 21 Desember 2018, sesaat setelah berhasil menutup pembayaran 40% PI Rio Tinto adalah sebesar USD 3.5 miliar dan USD 350 juta untuk nilai saham PT Indocopper Investama di dalam PTFI (PT Freeport Indonesia) , sehingga akhirnya PT Inalum sudah berhasil memiliki mayoritas saham 51,2% di dalam PTFI.
Meskipun Inalum berhasil memperoleh mayoritas saham di PTFI, tetapi posisi Komisaris Utama dan Direktur Utama ditempati dan dikuasai oleh Freeport. Sehingga biaya yang sudah dan akan dikeluarkan oleh PT Inalum untuk invetasi tambang bawah tanah terkesan sia-sia.
Realisasi divestasi itu dilaksanakan atas arahan Presiden Joko Widodo pada 10 Januari 2017, untuk meningkatkan kepemilikan negara di PTFI menjadi 51% dari saat itu sebesar 9,36%.
Lebih jauh PT Inalum dalam dokumennya menyatakan bahwa pada tahun 1996, Rio Tinto dengan Freeport Mc Moran (FCX) telah menandatangani "Participation Agreement". Atau, disebut juga "Participating Interest" (PI / Hak Partisipasi), yang intinya memberikan hak atas hasil produksi dan kewajiban atas biaya operasi PTFI sebesar 40% sampai akhir tahun 2021. Dengan kondisi produksi di atas batas yang sudah disepakati bersama (metal strip). Tetapi anehnya, dikatakan bahwa sejak tahun 2022 Rio Tinto akan mendapatkan hak dan kewajiban penuh sebesar 40% dari produksi dan biaya operasi, tanpa "metal strip" atau batasan hingga tahun 2041.
Langkah Korporasi Inalum
Semua langkah korporasi yang dilakukan PT Inalum dilaksanakan setelah mendapat penugasan dari Kementerian BUMN pada 18 Desember 2017. Padahal, KK baru akan berakhir pada 30 Desember tahun 2021. Seharusnya, tanpa hak FCX menjanjikan saham kepada PT Rio Tinto melampaui batas waktu kontrak adalah merupakan pelanggaran berat terhadap KK 1991.
Semua itu katanya karena Menteri ESDM IB Sujana pada 29 April 1996 telah menyetujui skema kerja sama operasi antara Rio Tinto dengan FXC ini. Disebutkan kerja sama hanya sampai tahun 2021, bukan sampai 2041.
Akan tetapi, PT Inalum pada 18 Febuari 2018 telah menunjuk beberapa konsultan yaitu Danareksa, PwC, Morgan Stanley. dan Behre Dolbear Australia. Tujuannya untuk melakukan "due dilingent" dari aspek legal, keuangan, dan tehnis. Tapi, ternyata tidak pernah menyebut adanya dokumen hasil "RUPS PT FI" terkait persetujuan PI Rio Tinto (karena PTFI didirikan berbadan hukum di Indonesia harus tunduk pada UU Perseroan Terbatas). Dan, yang menjadi pertanyaan besar adalah, sejak kapan saham Pemerintah 9,36% telah terdilusi menjadi 5,68%? Sehingga PT Inalum terpaksa harus membeli saham PT Indocopper Investama agar bisa mencapai 51,2%.
Namun, berdasarkan banyak fakta yang ada dan baru terungkap, telah menyisakan beberapa pertanyaan penting. Misalnya terkait keberadaan PI Rio Tinto di dalam struktur saham milik Freeport Mc Moran sebanyak 90,64%. Dan, saham milik Pemerintah hanya 9,36% di dalam PTFI. Sementara saham Bakrie di dalam PT Indocover Investama 9,36% telah dibeli oleh FCX pada tahun 2002 dari PT Nusamba Mineral Industri milik Bob Hasan .
Mengacu pada banyak fakta, termasuk dari keterangan Dr. Rizal Ramli sebagai mantan Menko yang pada era Presiden Gus Dur pernah juga bersentuhan dengan PTFI, dalam pertemuannya dengan James Mofett pada tahun 2000, mengakui telah menyuap Menteri saat itu yang melahirkan Kontrak Karya tahun 1991 menjadi "kontrak baru", bukan "kontrak perpanjangan" dari KK tahun 1967. Karena James Moffett pada tanggal 14 Desember 1988 mengajukan permohonan "perpanjangan" kepada Menteri Pertambangan Energi Ir Ginanjar Kartasasmita.
Pengakuan Melakukan Suap
Akan tetapi anehnya, yang keluar adalah KK Baru tahun 1991 dengan opsi boleh perpanjangan 2 X 10 tahun. Padahal hasil kesepakatan akhir pada 28 Maret 1989 didapat kesepakatan penting. Di antaranya pemberian saham 20% PTFI kepada pihak nasional dan pendirian smelter. Dan, terpenting adalah perpanjangan KK, bukan KK baru.
Akibat KK baru, maka terjadi negara kehilangan pemasukan 6,75% dari "pajak penghasilan, yang semestinya 41,75% menjadi hanya 35%". Ini terjadi sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 2001.
Telah terungkap fakta terbaru dan terlengkap dari buku Dr. Simon F Sembiring sebagai mantan Dirjen Minerba (2003 sd 2008). Dia juga sebagai salah seorang arsitek UU Minerba, di samping itu atas permintaan Plt Menteri ESDM Luhut Binsar Panjaitan pada awal tahun 2017, Simon Sembiring sebagai salah satu anggota tim perumus PP Nomor 1 Tahun 2017, telah digunakan sebagai payung hukum perubahan KK PT FI menjadi IUPK.
Kemudian, baru-baru ini diselenggarakan peluncuran buku "Satu Dekade Nasionalisme Pertambangan" untuk mengungkap "Carut Marut Implementasi UU Minerba dan Divestasi Freeport yang Penuh Jebakan". Pada acara peluncuran buku yang ditulis oleh Simon F Sembiring ini terungkap banyak fakta yang "agak ngeri ngeri sedap". Dan, hal ini tak pernah diketahui oleh publik, bahkan oleh pejabat ESDM sendiri selama ini.
Adapun fakta mengejutkan tersebut yaitu, terungkap adanya surat rahasia IB Sujana tgl 29 April 1996 bernomor 1826/05/M.SJ/1996. Surat yang ditujukan kepada James Moffett CEO Freeport Mc Moran ini dianggap janggal dan melanggar pasal 28 ayat 2 KK. Karena pasal itu menyatakan bahwa: “Setiap pemberitahuan, permintaan, izin, persetujuan, dan pengumuman lain yang diperlukan dengan ketentuan persetujuan harus dilakukan dengan tertulis dan dikirimkan melalui Direktur Jenderal Pertambangan Umum dengan alamat Jalan Gatot Subroto Kav 49 (sekarang Ditjen Minerba Jalan Supomo Tebet)". Akan tetapi pada kenyataannya, surat menyurat antara FXC James Moffett dengan Menteri IB Sujana tidak mengikuti ketentuan pasal 28 ayat 2 kontrak karya (KK). Anehnya, surat itu pun tidak ditembuskan kepada Dirjen Pertambangan Umum, yang saat itu masih dijabat oleh Kuntoro Mangkusubroto.
Penjelasan Atas Fakta Mengejutkan
Adapun penjelasan Simon Sembiring, bahwa kode surat "M. SJ" itu yang telah digunakan sebagai kode surat IB Sujana yang dikeluarkan oleh Sekretariat Jenderal. Bukan kode "M. DJP" Direktorat Jenderal Pertambangan Umum sebagaimana lazimnya. Sehingga, Dirjen Pertambangan Umum yang saat itu dijabat oleh Kuntoro Mangkusubroto, sampai akhir jabatannya tidak mengetahui tentang persetujuan PI Rio Tinto terhadap FXC dari surat IB Sujana tertanggal 29 April 1996. Sehingga surat itu dari perspektif KK dan aspek administrasi negara, sangat dapat diduga "ilegal". Karena telah nyata melanggar pasal 28 ayat 2 Kontrak Karya.
Selain itu, ternyata isi surat IB Sujana tersebut di atas pun telah dipertegas oleh surat Menteri Keuangan Marie Muhammad tanggal 1 April 1996, dengan nomor S-176/MK.04/1996. Pada angka ketiga surat tersebut malah memberikan penegasan bahwa imbalan atas investasi Rio Tinto (RTZ) sebesar USD 850 juta. Bahwa PT FI akan mengalihkan 40% hak kewajibannya kepada anak usaha PT RTZ dalam KK (tidak termasuk hak dan kewajiban yang sudah ada pada tahap eksploitasi pada wilayah KK blok A). Sehingga PI Rio Tinto (PT RTZ) hanya diizinkan bekerja sama pada Blok B sebagai pengembangan dalam KK 1991. Semuanya dapat dilihat dalam lampiran data koordinat Blok A dan Blok B. Sehingga kedua blok tersebut secara administrasi wilayah pertambangan adalah terpisah.
Maka dengan demikian, valuasi yang dilakukan oleh konsultan keuangan yang ditunjuk oleh PT Inalum terhadap PI Rio Tinto di blok A, bukan di blok B sesuai persetujuan Menteri IB Sujana dan Marie Muhammad April 1996, diduga "ilegal". Dan, karena sudah dibayar oleh PT Inalum pada 21 Desember 2018, maka dapat dikatakan telah terjadi potensi kerugian negara.
Sangatlah aneh dan tak masuk akal kalau kemudian PT Inalum dengan mudahnya membayar nilai Participating Interest Rio Tinto mencapai USD 3,5 miliar. Padahal Rio Tinto tidak jelas "legal standing"-nya dalam hubungan investasi antara Pemerintah Indonesia dengan PT FI sesuai Kontrak Karya. Celakanya, bagaimana mungkin FCX mengijon Participating Interest Rio Tinto sampai tahun tahun 2041? Padahal KK 1991 akan berakhir Desember 2021. Sangat ironis!
Hal itu diperkuat keterangan Simon Sembiring, bahwa Partipacing Agreement antara PTFI dengan PT Rio Tinto Indonesia (PTRTI) baru dilakukan pada 11 Oktober 1996. Setelah 6 bulan dari surat IB Sujana dan Marie Muhammad. Tetapi, tidak pernah disampaikan secara resmi kepada Direktorat Jenderal Pertambangan Umum (Minerba). Yang ternyata telah mengalami 7 kali amandemen dan terakhir pada 21 Oktober 2016.
Masukan untuk Pemerintah
Telah banyak pihak, termasuk Simon Sembiring, yang memberikan masukan kepada Pemerintah dalam hal ini kepada KESDM dan PT Inalum. Khususnya mengenai potensi kerugian negara ketika PT Inalum harus membayar Participating Interest Rio Tinto dengan nilai USD 3,5 miliar. Namun, katanya Dirut PT Inalum, Budi Sadikin, malah mengabaikannya, dan siap pasang badan.
Padahal kata Simon Sembiring, Pemerintah atau PT Inalum harusnya berani menyoal "legal standing" Participating Interest Rio Tinto. Bahkan sampai dengan ke arbitrase internasional, hanya dengan membayar sekitar USD 10 juta untuk jasa konsultan hukum yang berkualifikasi dunia. Ini sangat besar kemungkinan PT Inalum menghemat miliaran dollar Amerika. Keyakinan dia itu berdasarkan pengalamannya dalam beberapa even menghadapi Freeport Mc Moran dan Newmont Sumbawa.
Fakta lainnya, berdasarkan temuan audit tujuan tertentu BPK RI pada periode 2015 sampai dengan 2017. Ada nilai ekosistem yang dikorbankan atau potensi kerusakan lingkungan atas perhitungan jasa ekosistem oleh IPB dan LAPAN. Ada potensi nilai kerusakan mencapai USD 13.592.299.294 atau setara Rp 185 triliun (Majalah Tempo 23 Januari 2019 mengulas dalam laporan utama). Dan, adanya penggunaan kawasan hutan lindung tanpa izin yang hanya dikenakan denda sebesar Rp 460 miliar. Akan tetapi pada 31 Januari 2019 Freeport Mc Moran malah menyatakan akan mengkaji dulu nilai denda tersebut.
Anehnya, BPK dan Kementerian LHK tidak mampu alias gagal menetapkan kerugian negara dari kerusakan lingkungan yang sudah nyata ini. Artinya tak mampu menjaga kepentingan nasional demi masa masa depan anak bangsa. Karena hanya diselesaikan dengan tahapan "road map" perbaikan lingkungan. Sehingga PT Inalum berpotensi ikut menanggung dosa warisan kerusakan lingkungan sejak tahun 1972 sd 2018, yang sejak 1997 PT Rio Tinto sudah banyak menikmati hasilnya. Ditambah akuisi USD 3,5 miliar, adalah sukses mengakali Indonesia. Lebih ironis memang.
Sehingga kami berkesimpulan bahwa pembelian Participating Interest Rio Tinto malah diduga bermasalah. Pembelian yang diduga dengan sangat grasa-grusu oleh PT Inalum ini menggunakan sumber pembiayaan dari jual global bond sampai USD 4 miliar. Ini akan menjadi beban negara di masa akan datang.
KPK Diminta Lakukan Penyelidikan
Banyak hal yang menunjukkan bahwa divestasi Freeport sarat dengan pelanggaran hukum/ UU dan berpotensi merugikan negara. UU yang potensial dilanggar antara lain KK, UU Minerba, UU Kehutanan, UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup No.32/2009, serta UU BPK.
Kami sangat mengharapkan atensi khusus KPK untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap potensi kerugian negara yang lebih besar. Misalnya dengan memerintahkan BPK RI untuk melakukan audit khusus dengan tujuan tertentu. Atau, melakukan "audit forensik" terhadap proses divestasi saham PTFI oleh PT Inalum.
Karena kasus ini bukanlah delik aduan, maka tak perlu kami harus melaporkan secara resmi ke KPK. Cukup dengan rilis ini, dan kami siap memberikan data-data terkait apabila KPK membutuhkannya.
Tak tertutup kemungkinan kami akan segera melaporkan pada Maret 2019 ke Komisi FCPA (Foreign Corruption Practise Act) di Amerika. Antara lain terkait dugaan praktek curang yang dilakukan CEO FCX dalam divestasi. Dan, pelanggaran lainnya selama beroperasi terhadap KK PTFI.
Baca juga : Inalum Diduga Membeli PI Rio Bodong di Tambang Freeport?