Jakarta, Klikanggaran.com (03-01-2017) - Peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengatakan bahwa Ginandjar Kartasasmita merupakan biang dari skandal Freeport.
Menurutnya, skandal lembaran saham Freeport tak bisa dilepaskan dari sosok Ginandjar Kartasasmita yang menjadi Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) di tahun 1991. Dari jabatan Mentamben tersebutlah Ginandjar mulai memainkan perannya selaku 'good boy'-nya Amerika.
"Freeport telah lama mengincar 'membeli' Ginandjar semenjak menjabat Kepala BKPM (1985-1988). Tangan raksasa itulah yang menempatkan Ginandjar untuk jabatan lebih tinggi, Mentamben," terang Salamuddin Daeng pada Klikanggaran.com, Rabu (03/12/2017).
Selain itu, setahun setelah Ginandjar Kartasasmita diangkat menjadi Mentamben oleh Presiden Soeharto, Freeport Indonesia langsung mengajukan perpanjangan kontrak mereka di tahun 1989 dan meminta untuk memasukkan situs Grasberg sebagai lokasi pertambangan mereka.
"Sebetulnya Kontrak Karya tahun 1991 sangat strategis untuk meraih kedaulatan dan kemakmuran bangsa dari sektor tambang. Karena di 1988, Freeport menemukan cadangan emas senilai 40 milliar dollar AS di Grasberg, sekitar 3 kilometer dari lokasi tambang lama Ertsberg yang dikuasai sejak 1967 dan dieksploitasi 1970," ujarnya lagi.
Dari sumber lainnya disebutkan, Grasberg menyimpan 72 juta ons emas murni, ditambah perak dan tembaga senilai sekitar 60 miliar dollar AS. Sedikitnya tiga kali lipat dari besarnya cadangan di Ertsberg. Namun, Ginandjar mengamini saja, dengan embel-embel kenaikan pajak dan bagian saham lebih besar bagi Pemerintah Indonesia dari 10% menjadi 20%. Freeport pun menyetujui dan kedua belah pihak menandatangani perjanjian Kontrak Karya pada 30 Desember 1991.
"Tentu tak ada makan siang yang gratis. Elite Indonesia yang tak punya karakter gampang dibeli, tentu dengan mudah mengobral kekayaan bangsa kita untuk dikuasai asing, dengan imbalan yang sangat murah," kritik Daeng.
Menurut dia, Freeport Indonesia sangat paham dan mengimani bahwa mayoritas elite Indonesia telah mengubah dirinya sebagai komoditi yang bisa dibeli. Bahkan harga jualnya tidak perlu terlalu mahal, jauh lebih murah dari harga barang loakan di pinggir jalan.
Walaupun diduga dibeli secara murah, namun dalam kasus Kontrak Karya Freeport tahun 1991, sebuah perusahaan pertambangan terbesar di dunia, imbalan yang diduga diterima oleh Ginandjar Kartasasmita diperkirakan tak kecil jumlahnya, bahkan tak akan habis hingga tujuh turunan.
Dalam catatan Daeng, perusahaan milik adik kandung Ginandjar, Agus Gurlaya Kartasasmita, yakni PT Catur Yasa konon pernah menang tender pembangkit listrik untuk kegiatan tambang di area Freeport, sebagai salah satu imbalan dalam wujud proyek, belum yang lainnya.
Di tengah kemiskinan rakyat, imbuhnya, kini anak, cucu, dan cicit Ginandjar dapat hidup foya-foya dengan uang hasil korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta pesta pora dengan uang hasil mengobral kekayaan bangsa secara murah ke asing, lalu tampil seakan-akan bersih dari korupsi dan bebas dari suap.
"Ribut-ribut skandal saham Freeport 'kadal versus buaya' tak bisa dilepaskan dari sosok Ginandjar Kartasasmita, sang aktor strategis yang menyebabkan kertas saham Freeport kini melilit Indonesia. Ginandjar Kartasasmita biang skandal Freeport. Jasmerah!" pungkas Salamuddin Daeng.