Ketika Kemiskinan Makin Tinggi, Indonesia Malah Menuju Negara Berbayar

photo author
- Rabu, 20 Desember 2017 | 11:57 WIB
images_berita_Nov17_BayarTol
images_berita_Nov17_BayarTol

Jakarta, Klikanggaran.com (20/12/2017) – Seperti diketahui, Jokowi memprioritaskan percepatan penyediaan infrastruktur sebagai salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, yang proyek-proyek infrastruktur ini dianggap masih membebani keuangan negara. Seperti yang disampaikan Ferdinand Hutahean, Aktivis Rumah Amanah Rakyat, pada Klikanggaran.com (19/12/2017).

“Ironi paling menyedihkan justru mencuat ke permukaan untuk dikritisi. Bahwa pembangunan infrastruktur yang diklaim terbesar oleh Pemerintah Jokowi ternyata tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Klaim infrastruktur besar-besaran ternyata hanya meningkatkan angka kemiskinan dan penurunan daya beli,” tutur Ferdinand.

Menurut Ferdinand, penumpukan hutang secara besar-besaran terus menggunung. Jokowi berhasil mencatatkan dirinya sebagai Presiden yang berhutang paling ugal-ugalan. Hutangnya dalam 3 tahun mengalahkan besar hutang seluruh mantan Presiden RI yang pernah bertugas.

Bagi Ferdinand, paradoks yang terjadi adalah peningkatan investasi (hutang) dari tahun sebelumnya, tapi justru terjadi penurunan serapan jumlah tenaga kerja. Mestinya, jika investasi meningkat, maka serapan tenaga kerja harusnya naik, bukan malah turun.

“Apa yang terjadi? Mungkinkah ini akibat serbuan tenaga kerja asing yang masuk besar-besaran?” tanya Ferdinand.

“Semua terjadi sebagai akibat dari kebijakan Pemerintah Indonesia yang sedang mebawa bangsa ini menuju negara berbayar. Tidak ada satu pun infrastruktur yang bisa digunakan oleh rakyat dengan gratis. Semua berbayar. Jalan yang seharusnya menjadi kewajiban negara dialihkan ke asing atau swasta menjadi jalan berbayar alias jalan tol. Bahkan, sebentar lagi jika kebijakan menswastanisasi bandara dan pelabuhan jadi dilaksanakan, maka sudah pasti akan berbayar,” sesal Ferdinand.

Ferdinand melihat, kewajiban negara untuk menyediakan infrastruktur bagi rakyat beralih menjadi kewajiban yang diswastanisasikan, sehingga negara menempatkan rakyat sebagai objek yang diekploitasi memperkaya kaum kapitalis atau pemodal. Sementara itu subsidi untuk rakyat terus dicabuti untuk meyakinkan kaum kapitalis bahwa negara punya kemampuan untuk membayar meski rakyat menjadi objek penderita untuk kebijakan itu.

“Bukankah seharusnya negara wajib mennyediakan infrastruktur yang berkualitas untuk rakyat?” tanyanya lagi.

Jalan berbayar menurut Ferdinand semestinya adalah pilihan yang tidak wajib. Negara harus lebih dulu menyiapkan infrastruktur yang baik untuk rakyat, setelah itu boleh disediakan pilihan seperti jalan tol, karena itu memang alternatif kedua.

“Dengan demikian, tidak heran kemiskinan terus meningkat, ekonomi menurun, daya beli terpukul, pengangguran terus bertambah. Dan, itu terjadi di sela klaim infrastruktur besar-besaran oleh pemerintah. Lantas, untuk apa hutang dan infrastruktur itu jika hanya menghasilkan pertambahan jumlah orang miskin dan pengangguran?” tuturnya.

Ferdinand meminta agar pemerintah lebih jujur, sebenarnya apa yang diinginkan? Hanya sebuah citra? Apakah pemerintah bekerja hanya untuk citra pribadi, dan bukan untuk kepentingan rakyat? Jika demikian, menurutnya ada baiknya jika pemerintah berhenti bekerja, karena setiap bekerja hanya menghasilkan hutang dan kemiskinan yang bertambah.

“Dan, ironi paling besar adalah, negara yang harusnya memelihara dan melindungi rakyat justru dibawa menuju negara berbayar yang menyimpang dari cita-cita kemerdekaan bangsa,” tutup Ferdinand.

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kit Rose

Tags

Rekomendasi

Terkini

X