Jakarta, Klikanggaran.com (24/12/2017) - Klaim Pemerintah Indonesia bahwa Freeport McMoRan akan menyerahkan 51% saham kepada Indonesia masih menjadi perdebatan di ruang publik. Seorang pengamat ekonomi dan politik, Salamuddin Daeng, memaparkan pendapatnya terkait hal tersebut.
Dalam keterangan yang diterima Klikanggaran.com Salamuddin Daeng menegaskan, bahwa masalah antara Indonesia dengan Freeport McMoran adalah masalah Kontrak Karya (KK). Seluruh dasar dari hubungan kedua belah pihak adalah KK. Jika harus ada transaksi dengan Freeport McMoran, maka menurut Salamuddin Daeng harus berdasarkan KK.
Berpijak pada pendapat ini, Salamuddin Daeng mempertanyakan, mengapa Menteri Jonan dan Menteri Rini mau membeli participating interestnya Rio Tinto senilai Rp 55 triliun? Menurutnya, ini sama dengan penjarahan uang hasil holding BUMN Tambang untuk membeli hasil produksi PT Freeport Indonesia (PT FI) di tengah harga komoditas yang jatuh.
(Baca juga : Ada Penjarahan Uang BUMN untuk Beli Saham Rio Tinto di Freeport?)
Saat diminta pendapatnya terkait pandangan Salamuddin Daeng tersebut, Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) / Inalum, mengatakan bahwa Pemerintah menugaskan Inalum untuk menuntaskan Divestasi '51% saham PT FI' ke pihak Indonesia. Jadi jelas menurutnya, harus berupa '51% saham PT FI'.
“Mengenai detail transaksi, saya tidak bisa bicara, karena sudah terikat Non-Disclosure Agreement,” tutur Budi Gunadi Sadikin, Sabtu (23/12/2017).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, saat diminta juga pendapatnya, mengatakan bahwa keputusan divestasi saham PT FI untuk dikuasai oleh Pemerintah melalui penugasan kepada BUMN Holding Tambang adalah keputusan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan kepada Presiden Jokowi. Dan, mendapat persetujuan juga dari DPR, sehingga kebijakan divestasi untuk mencapai 51% itu merupakan perintah UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009.
Pengamat kebijakan energi ini menegaskan bahwa peran Menteri ESDM dalam pengambilan keputusan tersebut adalah sebagai pihak yang memastikan semua aktifitas pertambangan harus sesuai dengan Undang-Undang. Hanya saja, yang menjadi persoalan di sini menurutnya adalah kesepakatan valuasi nilai saham yang masih menjadi perdebatan.
“Karena kita terikat dengan ketentuan Permen ESDM Nomor 9 Tahun 2017 tentang Tata Cara Divestasi Saham dan Mekanisme Penilaian Saham,” ujar Yusri.
Tetapi, selain persoalan keterikatan pada ketentuan tersebut, Yusri memandang, ada hal lain yang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah. Yaitu, PT FI sudah 4 tahun tidak membayarkan dividennya kepada Pemerintah atas saham sebesar 9,36% yang sekarang sudah dilimpahkan kepada BUMN Holding Tambang.
“Jangan sampai proses divestasi selanjutnya ibarat membuang garam ke laut," tegas Yusri.
“Apalagi belakangan diperoleh hasil yang tidak menggembirakan, ketika PT Antam Tbk mundur dari MOU dengan PT FI dan PT Smelting Gresik untuk membangun smelter. Ini adalah ironi yang sangat tragis bagi negara kita, yang tidak diberikan kesempatan mengolah hasil tambangnya sendiri,” tutup Yusri Usman.