Jakarta, Klikanggaran.com (17/8/2017) - Dirgahayu ke 72 tahun Indonesiaku, Merdeka Bangsa dan Negaraku, sepertinya perlu dikumandangkan lebih khusuk. Namun apa daya, dalam suasana perayaan kemerdekaan pun kita masih diselimuti berita duka. Mendadak kita dengar dari sektor migas yang lagi sepi peminat, soal tender wilayah kerja migas belakangan ini. Demikian diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman pada Kamis (17/8/2017).
Pengamat migas ini menyesalkan, ketika pemerintah lagi giat mengoptimalkan semua sumber penerimaan dari berbagai sektor untuk menopang ABPN, membangun infrastruktur untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, datang berita duka dengan diumumkan kondisi kahar (goverment force majeure) Lapangan Gas Kapodang oleh operator Petronas Caligari Muriah Ltd pada 8 Juni 2017.
Hal di atas dikatakan oleh Senior Manager Corporate Affair & Administration Petronas Indonesia, Andiono Setiawan. Padahal sumber gas Lapangan Kepodang itu sebagai tulang punggung penyuplai gas PLTGU Tambak Lorok 1000 MW Jawa Tengah 116 MMCFD. Dan, itu hanya bisa disuplai sampai tahun 2018 dari yang seharusnya sesuai kontrak jual beli gas dengan pihak PLN sampai tahun 2026.
"Kondisi "Kahar" diekspos pertama sekali ke ruang publik oleh Fatar Yani Abdullah sebagai Deputy Operasi SKKMigas pada 10/8/2017 yang sebelumnya menjabat sebagai VP Operations Petronas Carigali Muriah Ltd. Walaupun sampai saat ini belum terkonfirmasi dengan jelas dan benar apakah itu sikap resmi SKKMigas atau sikap pribadi Fatar Yani," ujar Yusri Usman dalam tanggapannya mengenai Lapangan Gas Kapodang yang kahar.
Alasannya, lanjut Yusri, bahwa dari delapan sumur yang dibor sejak tahun 2016 sampai dengan awal tahun 2017 cadangan gas yang terdapat di lapangan Kapodang Blok Muriah telah habis. Fakta itu menyimpulkan adanya ketidaksesuaian dengan cadangan gas yang telah disertifikasi oleh lembaga ITB dari hasil ekplorasi yang pernah dilakukan oleh British Petroleum (BP). Sekitar tahun 2004, blok Muriah ini telah diakuisi sahamnya 100% oleh Petronas Caligari pada akhir Juli 2004. Dari operator BP dan PoD pertama disetujui oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro pada tahun 2005 ketika saat itu Kepala BPMigas baru dijabat oleh Raden Priyono. Kemudian, setelah sekian lama tidak dikomersilkan, maka PoD revisi baru dan ditandatangani pada tanggl 10 Agustus 2012 oleh Menteri Jerok Wacik atas rekomendasi BPMigas yang juga masih dijabat oleh Raden Priyono. Bahkan, Lapangan Kapondang dikomersial pertama di tahun 2015.
"Adapun deklarasi "kahar" oleh Petronas tujuannya untuk menghindari klaim kerugian dari pihak PLN yang telah terikat perjajian jual beli gas (SPA/Sales Purchases Agreement). Oleh karena itu, sikap menerima kondisi kahar yang telah diekspos Fatar Yani tentu akan dibaca publik. Meski belum jelas atas dan untuk kepentingan siapa dia berbicara. Dan anehnya, telah cepat diamini juga oleh Direktur Utama Saka Energy Tumbur Parlindungan. Ia yang merupakan anak perusahaan PGN dan memiliki saham 20% juga di blok Muriah ini tentu menimbulkan pertanyaan aneh oleh publik. Terkesan mereka menyederhanakan masalah tanpa terlebih dahulu melakukan audit investigatif. Untuk mengetahui di mana letak kesalahannya dan siapa yang harus bertanggungjawab atas adanya potensi kerugian negara yang dialami oleh Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah. Yang diwakili oleh BUMD mendapat saham Participacing Interest 10%. Lalu, BUMN PT Saka Energy dan PT PLN yang mungkin harus mencari sumber gas baru dengan harga lebih mahal. Parahnya lagi, telah membangun PLTGU Tambak Lorok 3. Dengan harapan sumber gasnya dapat disuplai dari Lapangan Kapodang. Belum lagi kerugian yang akan dialami oleh pihak swasta nasional sebagai operator pipa Kalimantan Jawa," papar Yusri.
Kalau akan menghitung potensi kerugian negara, lanjut Yusri, kehilangan pemasukan secara kasar berdasarkan kontrak Production Sharing Contract (PSC) dengan mekanisme "Cost Recovery". Maka perhitungannya dengan berdasarkan basis 8 tahun tidak produksi dan suplai gas mulai 2019 sampai dengan tahun 2026 ke PLN. Dengan harga jual gas USD 6 per mmbtu, gas flow 200 mmscfd, produksi 360 hari/tahun, 25% cost recovery, 70:30 revenue split, maka potensi penerimaan negara yang hilang adalah perkalian 200 mmscfd × USD 6 /mmbtu × 360 hari x 8 tahun x 75% net revenue x 70% split sama dengan USD 1.8 milyar atau sekitar Rp 23 triliun, dengan catatan 1mmscfd sama dengan1000 mmbtu.
"Mengingat potensi kerugian negara akan memperoleh keuntungan cukup besar bila ditambah kerugian oleh BUMN-nya bisa melebih 10 kerugian negara di kasus E- KTP. Sudah seharusnya Kementerian ESDM segera membentuk tim yang kredibel untuk melakukan investigasinya. Publik ingin menyaksikan sikap tegas Menteri dan Wakil Menteri ESDM yang selama ini sangat tegas kepada Pertamina dan PGN. Dalam hal ini, perpanjagan blok migas dan harga jual gas lapangan Grisik. Sejalan dengan itu BPKRI segera bertindak tanpa diminta oleh siapapun. Begitu juga penegak hukum KPK, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung, untuk menyelidiki adanya oknum-oknum gendoruwo yang bermain di permasalahan ini, untuk dilakukan penindakan secara hukum yang berlaku," jelas Yusri.
Apalagi menjelang menyambut hari ulang tahun kemerdekaan, tambah Yusri, pada tanggal 15 Agustus 2017 di kantor Menko Kemaritiman, Bapak Menko telah menerima delegasi dari negara Singapore yang akan menjual LNG untuk kebutuhan pembangkit PLN. Pertemuan itu langsung dipimpin oleh Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, dan dihadiri juga oleh Dirjen Migas dan Direktur Perencanaan PLN.
"Jangan sampai tambang migas kita menjadi tarik tambang di hari Kemerdekaan RI ke 72," tutupnya.
(Baca juga: Potensi Kerugian Negara di Lapangan Gas Kapodang Bisa 3 Kali Kasus E KTP)
(Baca juga: Publik Menolak Lupa Daftar Panjang Kasus SKK Migas, Usut Tuntas Kasus Ini!)
(Baca juga: Ekspor Bijih Mineral Ilegal Tuntut Seluruh Jajaran KESDM yang Terlibat)