Jakarta, Klikanggaran.com (5/10/2017) – “Dakwaan menyebabkan kerugian Dana Pensiun Pertamina (DPP) yang ditujukan kepada Helmi Kamal Lubis, akibat membeli saham PT Sugih Energy Tbk (Sugi) mulai 24 Desember 2014 setelah 6 bulan, tepatnya 25 Juli 2013, Helmi menjabat sebagai Presiden Direktur (Presdir) DPP sampai dengan Helmi secara resmi berhenti menjabatnya pada 15 Januari 2016. Semasa itu justru DPP mendapat keuntungan,” ungkap Ketua Umum Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe), Binsar Effendi Hutabarat, dalam pernyataan sikap organisasinya kepada pers, Rabu (4/10/2017).
“Itu bukan kerugian sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam dakwaan di sidang perdananya pada 27 September 2017 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Jalan Bungur Besar Raya No. 24-28, Gunung Sahari, Kemayoran, Jakarta Pusat, atas kasus dugaan korupsi pengelolaan dana DPP tahun 2014-2015 senilai Rp 1,3 triliun, yang diduga diperbuat oleh Helmi tanpa melalui prosedur yang berlaku. Dan, saham yang dibeli tidak termasuk daham unggulan (blue chip) dan berisiko,” kata Binsar Effendi di ruang sidang kasus Helmi sebelum persidangan ketiga dibuka.
Menurut Ketua Umum eSPeKaPe yang juga Ketua Dewan Penasehat Markas Besar Laskar Merah Putih (Mabes LMP), hal ini bisa dibuktikan setelah Helmi dijadikan status tersangka berdasarkan sprindik Dirdik Jampidsus nomor Print-02/F.2/Fd.1/01/2017. Malah, pada 8 Agustus 2017 suspensi saham Sugi di Bursa Effek Indonesia (BEI) telah dicabut dan dapat diperdagangkan kembali. Artinya, Helmi membawa investasi DPP masuk ke saham-saham mid cap yang dikuasai DPP adalah benar adanya.
Binsar juga menyampaikan, di hari terakhir saat Helmi bekerja di kantor DPP pada 30 Desember 2015, potensi keuntungan DPP tercatat Rp 161,622 milyar. Bahkan, saat Helmi resmi berhenti pada 15 Januari 2016 itu, masih tercatat potensi keuntungn DPP sebesar Rp 180,435 milyar.
“Sehingga, patut dipertanyakan, dari mana kerugian DPP berasal, dan kapan pula kerugian keuangan negara sebesar Rp 599,426 milyar itu munculnya? Sementara harga saham saat ini justru menunjukkan hasil positif, dimana harga jual lebih tinggi ketimbang harga pembelian. Bukan kerugian sebagaimana didakwakan,” ujar Binsar Effendi geram.
Hal ini menurut Binsar dapat dibuktikan dengan adanya kenaikan Manfaat Pensiun (MP) tertanggal 2 September 2015 berdasarkan Peraturan DPP No. 36/C00000/2015-S0 tanggal 27 Agustus 2015 dan telah disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan pengesahan No. Kep-549/NB.1/2015, di antaranya adalah memuat kenaikan MP yang tidak lain dan tidak bukan adalah dari akibat adanya kemampuan DPP berdasarkan hasil pengembangan investasi. DPP langsung membayarkan rapel kenaikan MP pada 9 Oktober 2015 dan mengumumkannya dalam Berita Negara.
“Kenaikan MP sampai saat ini pun tetap berlaku, sehingga asumsi dalam menaikkan MP dengan tetap menjaga Rasio Kecukupan Dana (RKD) PT Pertamina (Persero) di atas 100% selama 3 tahun berturut-turut menunjukkan bukti kebenarannya Helmi,” imbuh Binsar Effendi.
Binsar pun melayangkan kecamannya terhadap pejabat PT Pertamina (Persero), yakni Edy Fatima sebagai Manager Keuangan, Vanda Sari selaku Pengawas Perbendaharaan, Bondan Eko jabatan Koordinator Internal Audit, dan Heriyanto Kusworo jabatan Finance Internal Audit, yang pernah menjadi saksi dalam proses penyidikan. Kemudian dia menjelaskan perihal adanya hubungan bisnis antara Helmi sebelum menjabat Presdir DPP dengan Iwan Margana selaku Presdir PT Pratama Capital Assets Management dan Sugiharto, itu terjadi di tahun 2012 melalui perjanjian kerja sama bisnis referral yang bertujuan hanya untuk mencari investor untuk bisa menempatkan sejumlah dana agar dikelola oleh Pratama dengan pembagian keuntungan untuk Helmi 25%, untuk Iwan 25% dan untuk Sugiharto 50%.
Bahwa awalnya, pada Februari 2014 Helmi mengajak Pratama membeli saham PT Elnusa Tbk yang menjual sebanyak 2 milyar lembar saham. Dari uangnya Pratama membeli sebanyak 700 juta lembar saham dan dari uang DPP membeli sebanyak 1,3 milyar lembar saham. Hasil pengembangan investasi ini dan berdasarkan pembagian keuntungan atas perjanjian kerjasama bisnis referral sejak Februari sampai dengan Desember 2015, Helmi yang berhak menerima 25% mendapat Rp 14 milyar.
“Di sini tidak ada uang DPP yang ditempatkan Helmi di Pratama, sebagaimana yang didakwakan. Justru sebaliknya Pratamalah yang mengeluarkan dana untuk beli saham Elnusa tanpa melibatkan kewenangan Helmi selaku Presdir DPP. Sedangkan logikanya tidak mungkin Helmi beli saham Elnusa jika tidak ada kewenangannya di DPP yang menguntungkan atau tidak untuk DPP mendapat kerugian,” lanjut Binsar Effendi yang juga Ketua Umum Komunitas Keluarga Besar Angkatan 1966 (KKB ’66).
Maka demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Ketua Umum eSPeKaPe tegaskan, adalah sangat munafik jika para pensiunan Pertamina dalam menerima kenaikan MP sebesar Rp300.000,- per bulannya dan yang sampai saat ini terus menerimanya kemudian melupakan bahwa terjadinya kenaikan MP tersebut sebenarnya adalah karena kerja keras Helmi selaku Presdir DPP sejak 25 Juli 2013 sampai 15 Januari 2016. Dimana Helmi selalu berupaya untuk mengangkat kehidupan pensiunan Pertamina agar hidup layak bagi kemanusiaan, agar tidak ada yang dimiskinkan.
“Sekalipun demikian, toh masih ada di antara sebagian pensiunan Pertamina yang masih menerima MP di bawah Rp 1 juta sebulannya. Tentu sangatlah ironis, di balik nama besar PT Pertamina (Persero), tapi nasib para pensiunannya masih hidup dalam kesusahan,” keluh Binsar Effendi.
Oleh sebab itu, organisasi eSPeKaPe yang dinakhodai Binsar Effendi, dalam kesempatan siding ketiga menyampaikan pernyataan sikapnya, jika tidak ada kerugian negara dalam kasus DPP yang melibatkan Helmi selaku Presdir DPP saat itu.
“Helmi telah bekerja keras untuk mengangkat derajat pensiunan Pertamina agar hidup sejahtera, dan oleh sebab itu demi keadilan yang hakiki, bebaskan Helmi dari tahanan,” pungkas Ketua Umum eSPeKaPe, Binsar Effendi.