Jakarta, Klikanggaran.com (1/11/2017) - Ketua Forum Warga Kota Jalarta (Fakta), Azas Tigor Nainggolan, sedang mempetisi operator jalan tol, salah satunya kepada PT. Jasa Marga. Alasan mempetisi adalah, operator jalan tol dinilai memaksakan kehendak, dengan tidak akan menerima pembayaran atau transaksi tunai lagi. Mulai tanggal 31 Oktober 2017, pengguna jalan tol diharuskan melakukan transaksi non tunai dengan mempergunakan "kartu tol".
Dalam petisi kepada operator jalan tol ini, Fakta sedang mengumpulkan dukungan dari rakyat melalui online. Isi dari petisi adalah, operator jalan tol tidak boleh menolak pembayaran tunai rupiah. Menolak pembayaran tunai rupiah berarti melanggar UU no:7/2011 tentang Mata Uang.
Fakta juga menyatakan bahwa Mata Uang Rupiah adalah identitas Negara Republik Indonesia, sebagai alat pembayaran yang sah. Dalam pasal 33 UU Mata Uang diatur, tidak boleh menolak pembayaran dengan tunai rupiah. Selanjutnya dalam pasal 33 tersebut juga diatur, bahwa jika menolak pembayaran rupiah adalah tindak pidana dan dihukum kurungan penjara 1 tahun dan denda Rp 200 juta.
Kemudian ditegaskan juga oleh Ketua Fakta, Azas Tigor Nainggolan, bahwa jika operator masih memaksakan pada 31 Oktober 2017 akan menghapus semua loket pembayaran tunai, maka operator jalan tol telah melanggar UU Mata Uang dan bisa dipidana.
Senada dengan Fakta, Center for Budget Analysis (CBA) juga mencurigai, penerapan traksaksi non tunai ini sangat menguntungkan operator jalan tol, dan merugikan pengguna jalan tol. Saat ini saja, jika pengguna jalan tol ingin membeli kartu e-tol baru dengan isi sebesar Rp50.000, isi kartu e-tol tersebut hanya Rp30.000.
“Duit pengguna jalan tol sebesar Rp20.000 itu lari ke mana? Apa dimakan "hantu tol"?” tanya Jajang Nurjaman, Koordinator Investigasi CBA.
Sekarang jika kita ilustrasikan, pada bulan Juni volume transaksi di pintu tol Jagorawi sebanyak 16.122.858 mobil, maka uang sebesar Rp20.000 dari pengguna jalan tol, dan yang dimakan oleh para hantu tol, diperkirakan sebesar Rp 322,4 miliar.