peristiwa

Saiful Mujani: Pemikiran Cak Nur dan Gus Dur Perlu Diaktualkan Kembali

Kamis, 20 Agustus 2020 | 18:37 WIB
images (24)

“Indonesia sebagai entitas profan niscaya terus berubah, dinamis, sehingga dikenal ungkapan “menjadi Indonesia,” bukan Indonesia yang sudah jadi, dan apalagi disakralkan,” ungkapnya.


“Bila Indonesia disakralkan, katakanlah diislamkan, maka reduksi terhadap doktrin-doktrin dasar Islam terjadi di satu pihak, dan di pihak lain mengingkari kenyataan keragaman dan dinamika dunia sosial Indonesia yang merupakan sebuah keniscayaan,” tambahnya.


Ungkaan “Islam yes, partai Islam no” Cak Nur punya makna dalam dan luas. Beriman pada doktrin-doktrin dasar Islam, dan menegasikan identifikasi Islam dengan institusi-institusi buatan manusia seperti partai atau negara-bangsa.


Sementara itu, pemikiran Gus Dur fokus pada term kontekstualisasi Islam. Islam sebagai doktrin pokok dipercaya universal tapi juga melingkup keragaman sosial budaya dalam rentang sejarah bangsa masing-masing.


Bagi Gus Dur, kata Saiful, Islam tidak identik dengan Arab. Islam universal, sementara budaya Arab adalah lokal. Islam Indonesia tidak harus, dan tidak pantas, mengikuti budaya Arab. Berislam dengan budaya Indonesia yang seharusnya dikembangkan dan digalakan umat Islam Indonesia.


Saiful menyimpulkan bahwa kontektualisasi Islam pada keragaman sosial-budaya akan melahirkan Islam yang beragam secara sosial-budaya, dan karena keragaman ini maka toleransi adalah suatu keniscayaan untuk menegakan keberagaman sosial-buadaya Islam dalam terang universalitas doktrin-doktrin dasar Islam.


“Dalam konteks pemikiran seperti itu,” kata Saiful “Gus Dur adalah pelopor dan aktivis bagi toleransi dan anti-diskriminasi sesama anak bangsa apapun latar belakang identitas sosial politiknya.”


Wujud dari pemikiran Gus Dur ini, tambah Saiful, kemudian muncul dalam sejumlah tindakan seperti meminta maaf kepada keluarga bekas PKI atas pembantaian ratusan ribu orang anggota keluarga mereka hanya karena perbedaan faham dan kepentingan politik; menghapus tanda terlibat PKI pada KTP, perhatian pada kelompok-kelompok minoritas etnik dan agama; mengakomodasi keinginan agar Konghucu diakui secara resmi sebagai agama di Indonesia.


Ilmuan politik lulusan Ohio State University, Amerika Serikat, ini memandang bahwa pemikiran yang dulu dikembangkan Cak Nur dan Gus Dur sekarang kurang mendapat tempat di kampus-kampus.


“Keislaman yang dikonsumsi publik secara luas banyak berupa “Arabisasi Islam,” dan “Arabisasa Indonesia,” kata dia.


Menurut Saiful, kampus-kampus kita dilihat dari banyak segi, apalagi sebagai institusi milik negara, harusnya menjadi lembaga paling depan untuk pemikiran-pemikiran keislaman yang telah diletakan fondasinya oleh Cak Nur dan Gus Dur itu.


“Dari kampus kita harusnya lahir pemikiran-pemikiran keislaman yang memperkuat sikap dan perilaku umat yang memperkuat rajutan kebinekaan negara-bangsa kita,” pungkasnya.


Halaman:

Tags

Terkini