peristiwa

Sambut Hari Pahlawan, eSPeKaPe Minta Jalan Perwira Diganti Jalan Ibnu Sutowo

Rabu, 8 November 2017 | 23:42 WIB
images_berita_Okt17_TIM-Ibnu

“Pak Ibnu kembali menekuni PT Indobuildco yang didirikannya tatkala beliau masih aktif di Pertamina. Tak hanya itu. Ibnu Sutowo pun mulai membangun Garden Tower, sekaligus memperluas Hotel Hilton sejak 1983. Sebab itu meski kegaduhan di luar atas tuduhan Pak Ibnu melakukan korupsi begitu derasnya, oleh Pak Ibnu disikapi dengan tenang,” lanjut Binsar.

Ibnu Sutowo buat headline dengan membuktikan kerja kerasnya dan menganggap tuduhan itu salah paham, karena tidak tahu silsilah Pertamina yang didirikan pada 10 Desember 1957 yang asal muasalnya dari Permina dan berbentuk perseroan (PT).

“Pak Ibnu tidak berjalan seorang diri. Sebab berkat kerja sama dengan Mayor Harijono, Mayor Geudong, dan JM Pattiasina, beliau berhasil melakukan pengembangan perusahaan bahkan sempat melebarkan sayap hingga ke usaha non-migas. Sebut saja antara lain usaha bisnis properti, angkutan udara, hingga pabrik baja,” imbuh Binsar Effendi.

Diawali tahun 1960, PT Pertamina dijadikan PN Pertamina, sehingga terjadi perubahan kekayaannya. Semula terbatas dalam saham, kemudian menjadi tidak lagi terbatas. UU Nomor 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara (PN) juga Ibnu Sutowo kritisi, mengingat yang bertanggung jawab terhadap kekayaan perusahaan Pertamina adalah direktur utamanya. Kalau Ibnu Sutowo tak becus, paling Pertamina ditutup, sebab Ibnu Sutowo selaku direktur utamanya tidak menyalahi hukum. UU PN tersebut juga tidak melarang pendirian anak perusahaan di Pertamina, hanya perlu minta izin kepada pemerintah. Sedangkan Pertamina, oleh Ibnu Sutowo selaku direktur utamanya, selalu saja melaporkan segala sesuatuya kepada Presiden Soeharto.

Akan tetapi, pada akhirnya berbuntut dimana pada tanggal 5 Maret 1976, Ibnu Sutowo menyerahkan jabatannya kepada Piet Haryono. Di tengah kelegowoannya, nampak masih terkandung rasa penasaran. Ibnu Sutowo ingin tahu, hal ihwal dirinya diganti? Dengan bantuan Drs. Frans Seda, Ibnu Sutowo mendapat konfirmasi, bahwa Presiden Bank Dunia, MacNamara, yang sebenarnya ingin Ibnu Sutowo dicopot. Padahal Ibnu Sutowo saat memimpin Pertamina sejak mulai berproduksi 350.000 barrel per hari (bph) dengan harga di bawah US$ 2 perbarrel, sampai produksinya bisa mencapai 1,7 juta bph dengan harga US$ 34 perbarrel berikut income negara dari migas sekitar US$ 2 miliar, sudah merupakan bukti jika Ibnu Sutowo telah berhasil dan berprestasi.

“Namun, dimaklumi jika stigma tentang koruptor terhadap diri Pak Ibnu masih melekat dan dianggap kontroversial. Padahal yang sebenarnya hanya baru pada tingkat tuduhan, dan belum terbukti sama sekali. Sebaliknya bagi karyawan Pertamina yang sekarang sudah pada pensiun, seperti kami yang berhimpun di eSPeKaPe ini, melihat jasa Pak Ibnu sangatlah besar bagi Pertamina. Perjuangan Pak Ibnu mencari aset-aset migas tidak hanya dengan membeli aset wilayah migas tersebut, tetapi juga dengan merebut melalui peperangan yang tidaklah mudah,” kata Binsar Effendi.

Hanya saja, tidak sebagian besar para pekerja Pertamina pada dimensi kekinian yang mengenal sosok Ibnu Sutowo secara utuh, sebab sebagian besar dari para pekerja Pertamina saat ini mengaku hanya mengetahui Ibnu Sutowo adalah Direktur Utama Pertamina yang pertama kali, yang merupakan cikal bakal Pertamina sampai sebesar sekarang ini. Sementara Ibnu Sutowo bagi eSPeKaPe dianggap sebagai sosok yang berani, bahkan Ibnu Sutowo sosok yang tak takut sama Presiden Soeharto. Hal ini dibuktikan ketika Ibnu Sutowo menghadiri suatu pertemuan dengan Presiden Soeharto dimana dihadiri banyak menteri. Ketika Presiden Soeharto datang dan semua yang hadir di ruangan berdiri, hal itu tidak dilakukan oleh seorang Ibnu Sutowo.

Ibnu Sutowo yang peraih gelar doctor honoris causa pada tahun 1984 dari Perguruan Tinggi Ilmu Quran (PTIQ) ini terkenal royal. Buktinya, beliu telah melengkapi Yayasan Pendidikan Alquran yang didirikannya pada 1969 dengan gedung laboratorium bahasa Alquran senilai Rp 115 juta di tahun 1983. Untuk PTIQ pun, Ibnu Sutowo yang juga memperoleh gelar doctor honoris causa untuk ilmu ekonomi pada tahun 1972 dari Universitas Airlangga ini, rela merogoh kocek sebesar Rp 6 juta setiap bulannya.

Ibnu Sutowo saat menjabat Direktur Utama Pertamina juga nampak merasa jengah ketika perusahaan minyak asing Shell pada saat itu melarang dirinya masuk ke lokasi wilayah kerja Shell. Padahal Ibnu Sutowo itu adalah perwira TNI dan lokasi itu adalah tanah airnya.

“Dari situlah Pak Ibnu bertekad ingin memperjuangkan bahwa sumber daya alam (SDA) migas Indonesia adalah hak rakyat Indonesia. Sehingga arti Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 benar-benar Pak Ibnu terapkan, dimana Pak Ibnu kemudian bisa membeli aset Shell walaupun harus dengan cara mengutang. Perjuangan seperti inilah yang membuat beliau punya jati diri,” beber Ketua Umum eSPeKaPe.

Bahkan, menurut Binsar Effendi, muncul pemikiran Ibnu Sutowo, bahwa SDA migas adalah hak rakyat. Jika ada pihak asing atau siapapun yang ingin mengelolanya, Ibnu Sutowo mempersilahkan, dan tidak menjadi masalah. Akan tetapi, bagian negara tetap harus lebih besar. Dan, jika biaya investasi mereka keluarkan tidak menghasilkan apa pun bagi negara, maka tidak akan diganti uang mereka. Pemikiran Ibnu Sutowo inilah yang kemudian disebut sebagai sistem Kontrak Bagi Hasil (KBH), tapi yang lebih dikenal dengan sebutan Production Sharing Contract (PSC) atau Kontrak Produk Sharing (KPS).

“PSC sendiri adalah mekanisme kerja sama pengelolaan migas antara Pemerintah dan Kontraktor. Sistem ini diperkenalkan oleh Pak Ibnu pertama kalinya pada tahun 1960, namun baru benar-benar diterapkan pada tahun 1964. Model PSC ini telah ditiru oleh lebih dari 72 negara di dunia, yang tersebar di benua Afrika Utara, Asia, Timur Tangah, Amerika Utara, dan juga Amerika Selatan. Skema PSC sendiri di antaranya sudah pernah diadopsi oleh Petronas (Malaysia) dan Petrobas (Brazil), yang menjadikan kedua perusahaan migas negara tersebut berhasil maju sampai saat ini,” kata Binsar Effendi lagi.

Di dalam PSC, imbuhnya, kontraktor hanya berhak atas manfaat ekonomi (economic right) dari pengusahaan migas. Sementara hak atau kuasa pertambangan (mining right) dan hak atas migas (mineral right) tetap menjadi milik negara. Pada 21 Januari 1968, Presiden Soeharto secara resmi menyatakan dukungannya pada sistem PSC. Setelah sebelumnya Continental Oil serta Union Oil menyatakan keinginannya bekerjasama dengan PN Permina dalam sistem PSC tersebut. Continental Oil pada Mei 1967 menandatangani PSC untuk daerah Barito Barat Laut Kalimantan Timur, lalu Union Oil pada Januari 1968. Semua ini adalah bukti hasil kerja Ibnu Sutowo.

Dapat dipahami, mengapa pada masa itu Indonesia sangat tergantung pada kontraktor asing dan menggunakan PSC. Pertama, karena Indonesia yang baru saja merdeka, masih miskin. Akibatnya, Indonesia tidak punya modal untuk mengembangkan industri migas yang bersifat high cost ini. Kedua, minimnya penguasaan terhadap teknologi. Ketiga, sumber daya manusia (SDM) Indonesia di masa itu juga masih sangat minim. 

Hingga tahun 2009 ini, tutur Ketua Umum eSPeKaPe, sistem PSC telah mengalami sedikitnya 3 kali perubahan term and condition. PSC generasi pertama (1965-1975) yang mengatur biaya-biaya yang harus diganti oleh Pemerintah (cost recovery) dibatasi hanya 40% dari pendapatan total; investment credit, atau hak kontraktor untuk mendapatkan pinjaman modal investasi, sebesar 10%; kewajiban menyerahkan 25% bagian migasnya untuk dalam negeri (DMO/domestic market obligation), dengan harga 0,2 sen dollar AS per barrel waktu itu.

Halaman:

Tags

Terkini