peristiwa-daerah

Merinding! Penanganan PDP Corona di RS Siloam Silampari Diduga Janggal

Senin, 1 Juni 2020 | 14:00 WIB
images (17)


Lubuklinggau,Klikanggaran.com - Menyandang status Pasien Dalam Pengawasan (PDP) Corona/Covid-19, memang tidak mengenakkan apalagi jika pasien tersebut meninggal. Pihak rumah sakit yang menangani pasien sudah pasti menetapkan pemakaman dengan protokol Covid-19, hal inilah yang dampaknya berupa stigma negatif akan diterima oleh keluarga pasien.


Stigma negatif ini salah satunya dirasakan oleh istri dan anak serta keluarga salah satu PDP Meninggal di Kota Lubuklinggau inisial H pada 17 Mei lalu.


Mereka tidak bisa menggelar takzia malam pertama sampai malam ketiga dan ketujuh karena status almarhum sebagai PDP, walaupun hasil tes swab nya negatif namun stigma dimasyarakat sudah melekat dan tidak bisa dilepaskan.

-


Salah seorang keponakan almarhum H, Nurusulhi Nawawi (Nun), Minggu (31-05), menceritakan kronologis singkat perjalanan pamannya tersebut dari sakit hinggga ke pemakaman. Ia menuturkan almarhum sebelumnya sudah beberapa kali keluar masuk rumah sakit karena penyakit jantung.


Awalnya, kata dia, almarhum pamannya tersebut dirawat di RS Siloam Silampari Lubuklinggau (RS SS), dan dinyatakan sebagai PDP Covid-19, lalu dilakukan perawatan medis dengan protokol Covid-19 di ruang isolasi rumah sakit.


Namun beberapa hari kemudian, dokter Z yang menangani almarhum menginformasikan kepada pihak keluarga bahwa dirinya akan cuti, keluarga pasien menganggap hal tersebut sebagai pengusiran secara halus. Ditambah lagi, salah seorang dokter RS Siloam Silampari inisial N, meyakinkan keluarga agar pasien dipindahkan ke RS Siti Aisyah (RS SA) karena dokter N juga mengaku sebagai dokter di RS SA.


Kemudian, setelah itu almarhum dipindahkan ke RS SA tanpa ada dokumen rekam medis dari RS Siloam bahwa almarhum merupakan PDP Covid-19 dan sudah diisolasi.


”Dokter N ngomongnya seperti itu, pindahin saja nanti juga saya yang menangani di sana (RS SA), tapi ternyata bukan dokter N yang menangani almarhum, kita tidak ketemu juga di RS SA,” ujar Nun.


Saat dibawa ke RS SA sekitar tanggal 15 Mei 2020, almarhum mendaftar seperti pasien biasa karena tidak ada dokumen rekam medis dari RS SS bahwa almarhum ini PDP, sehingga perlakukan tidak dengan protokol Covid-19.


”Seperti biasa pasien umum, keluarga juga kumpul-kumpul lagi dengan almarhum, karena rumah sakit awal tidak memberi tahu, keluar-keluar saja dari sana,”kata Nun.


Pihak RS SA baru mengetahui bahwa almarhum pernah ditetapkan sebagai PDP oleh RS SS setelah salah satu keluarga almarhum H bercerita kepada salah seorang perawat di RS SA pada tanggal 16 Mei atau satu hari sebelum almarhum meninggal.


Nah, mengetahui hal itu, pihak RS SA langsung menetapkan almarhum H sebagai PDP dan dilakukan protokol Covid-19, sehingga almarhum H ini dua kali penetapan sebagai PDP.


”Malam itu mulai jadi PDP untuk yang kedua kalinya, mulai juga diperlakukan dengan protokol covid 19, termasuk keluarga juga ditracking,” tambahnya.


Selanjutnya, pada 17 Mei 2020 malam, almarhum meninggal dunia, sementara tak satupun pihak keluarga yang bisa mendampingi almarhum menghembuskan nafas terakhirnya diruang isolasi.

Halaman:

Tags

Terkini