Klaster Pendidikan Ada di UU Cipta Kera, P2G: Kapitalisasi Pendidikan Tanggung Jawab DPR!

photo author
- Rabu, 7 Oktober 2020 | 05:34 WIB
guru mengajar
guru mengajar



Jakarta, Klikanggaran--Awalnya informasi tentang dicabutnya klaster pendidikan di dalam RUU Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi kabar baik bagi dunia pendidikan, sebab kekhawatiran para pegiat pendidikan tak akan nyata, bahwa pendidikan makin dikomersialisasikan melalui UU ini. Tapi setelah membaca draft final UU yang sudah disahkan DPR ini, ternyata masih ada Pasal yang memberi jalan luas kepada praktik komersialisasi pendidikan. Dengan kata lain, UU Ciptaker menjadi jalan masuk kapitalisasi pendidikan. Ini jelas tampak dalam: Pasal 26 yang memasukkan entitas Pendidikan sebagai sebuah kegiatan usaha; kemudian pasal 65 menjelaskan "Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam UU ini." Ayat 2 nya mengatakan, "Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan diatur dengan Peraturan Pemerintah." Artinya pemerintah (eksekutif) dapat saja suatu hari nanti, mengeluarkan kebijakan perizinan usaha pendidikan yang nyata-nyata bermuatan kapitalisasi pendidikan, sebab sudah ada payung hukumnya.


Kemudian Pasal 1 (4) dalam UU ini, yang dimaksud "Perizinan Berusaha" adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Jelas sekali pendidikan direduksi menjadi suatu aktivitas industri dan ekonomi.


Masih bertahannya pasal yang akan menjadi payung hukum kapitalisasi pendidikan di atas, menjadi bukti bahwa anggota DPR sedang melakukan "Prank" terhadap dunia pendidikan termasuk pegiat pendidikan. Sebelumnya dengan "pedenya" mereka mengatakan _cluster_ pendidikan telah dicabut dari RUU ini, ternyata sebaliknya. Demikian disampaikan Satriwan Salim (Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru atau P2G)


Setidaknya ada empat alasan pokok P2G menolak dan mengecam _cluster_ pendidikan masih bercokol dalam UU ini:


Pertama, alasan ideologis. Kami menganalisis bahwa dijadikannya pendidikan sebagai sebuah aktivitas usaha yang muatannya ekonomis jelas mengkhianati nilai Pancasila khususnya sila II dan V. Sebab pendidikan nanti semakin berbiaya mahal, jelas-jelas akan meminggirkan anak-anak miskin, sehingga tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia tidak akan pernah terjadi. Yang muncul adalah pendidikan bukan lagi sebagai aktivitas peradaban, melainkan semata-mata aktivitas mencari untung atau laba. Begitu pula prinsip keadilan dalam pendidikan, hanya akan jadi utopia, sebab pendidikan yang dikomersialisasikan menjadi pintu masuk ketidakadilan.


Kedua, alasan yuridis konstitusional, dia menambahkan bahwa UU ini jelas-jelas mengkhianati jiwa UUD 1945 khususnya Pembukaan UUD 1945 alinea IV; Pasal 28C ayat 1; dan Pasal 31 ayat 1. Yang terang-benderang menjelaskan bahwa mendapatkan pendidikan merupakan hak dasar warga negara. Sekarang bagaimana semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan, ketika pendidikan menjadi mahal dan menjadi sebuah aktivitas ekonomi, menjadi sebuah kegiatan berusaha? "Rasanya saya jadi malu mendidik siswa tentang materi hakikat demokrasi, kedaulatan rakyat, dan lembaga DPR, jika DPR sendiri tidak benar-benar mewakili aspirasi rakyat, tetapi mewakili investor. DPR bertanggungjawab atas dibukanya kembali kapitalisasi pendidikan," demikian cetus Satriwan yang merupakan guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ini.


Satriwan menambahkan, "Para guru PPKn dan Sejarah seindonesia wajib memberikan pemahaman ke siswa, betapa lebih mengancamnya neoliberalisme dan neokapitalisme ketimbang ribut melulu soal kebangkitan PKI yang sudah bangkrut itu."


Lebih lanjut ketiga adalah alasan pedagogis, dikatakan oleh Fauzi Abdillah (Kepala Bidang P2G), orientasi memperoleh keuntungan/laba dalam pendidikan mengabaikan pendekatan _student-centered_ yang fokus mengatasi kebutuhan belajar, minat, dan aspirasi dari siswa. Siswa perlu mendapatkan pengalaman belajar dan pencapaian pembelajaran yang mencukupi, bukan seberapa besar guru atau sekolah mendapatkan untung.


Pengajar milenial ini menjelaskan, kualitas pendidikan idealnya tidak ditentukan oleh seberapa mahal sekolahnya. Hal tersebut berpotensi menghapus gagasan pendidikan berkualitas harus inklusif dan adil, agar kesempatan belajar sepanjang hayat bisa terwujud untuk semua. Tanpa terkecuali, upaya pendidikan harus berkualitas untuk memenuhi hak warga negara Indonesia. Idealnya pendidikan harus lepas dari pengaruh seberapa besar investasi yang masuk, serta seberapa untung yang didapat. Jangan sampai justru ini jadi kenormalan baru, bahwa kita harus mengeluarkan biaya yang banyak agar bisa mengakses pendidikan yang berkualitas.


Keempat, secara sosiologis, munculnya pembedaan performa lembaga pendidikan mahal dan murah akan memperlebar jurang kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat. Ekosistem pendidikan yang eksklusif dan diskriminatif tersebut akan mempersulit upaya mempersatukan bangsa. Negara wajib memenuhi hak warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, bukan pendidikan yang menguntungkan segelintir kapitalis dari kalangan atas.


Oleh karena itu Satriwan mengungkapkan, jalan terakhir sebagai upaya penolakan UU ini adalah masyarakat sipil dan para pegiat pendidikan khususnya dapat membawa UU ini ke MK untuk di-ujimateril-kan. Semoga UU ini bernasib sama dengan UU Badan Hukum Pendidikan dan Pasal tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI) dalam UU Sisdiknas, yang keduanya dibatalkan oleh MK beberapa tahun lalu.


Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Tim Berita

Tags

Rekomendasi

Terkini

X