Sebuah artikel yang ditulis oleh Dere Linggau
Jakarta,Klikanggaran.com - Usia kepala tiga bisa dibilang bukan lagi masa anak-anak, sudah banyak hal-hal terjadi selama 30 tahun seperti pertemuan dengan orang terkasih dan melihat kehidupan-kehidupan baru yaitu kelahiran, berpisah dengan orang yang dicintai dan melihat akhir kehidupan yaitu kematian, bukanlah kenangan yang menyenangkan. Peristiwa penting orang-orang terdekat pun banyak terabadikan dalam memory seperti hadir di hari kelulusan sang adik, menghantarkan kedua orangtua pergi ke tanah suci, pernikahan teman karib atau menjadi bagian penting dalam sejarah seperti ikut mencoblos dan memilih presiden pilihan sendiri dan di tahun (2020) ini ikut merasakan bagaimana rasanya lockdown karena wabah pandemi menyerang dunia.
Namun ada satu peristiwa yang saya sangat inginkan segera terjadi yaitu melihat pindahnya ibukota tercinta ini ke daerah atau pulau lain, Indonesia terlalu luas dan mempunyai lima pulau terbesar di dunia yang termasuk kedalam negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Selain mempunyai lima pulau, Indonesia juga ada berbagai suku dan bahasa yang terbentang dari sabang sampai merauke, Indonesia sangat kaya budaya dan tradisi tetapi kenapa masih ada saja yang “mengkotak-kotakan” suku dan sulit menerima perbedaan?
Di tinggal mati orang-orang tercinta memang sedih dan juga menjadi nasehat terbaik bahwa hidup itu ada akhirnya tetapi jika dihadapkan kenyatan bahwa kita tidak berjodoh dengan seseorang hanya karena berbeda suku adalah hal yang amat sangat menyedihkan.
“Dan diantara tanda-tanda KekuasaaNya ialah Dia menciptakan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al- Hujurat:13).
Penolakan yang sangat menyakitkan ini pernah saya alami diakhir tahun 2019 kemarin, ketika saya dan sang calon sudah saling mengenal lewat ta’aruf dengan perantara teman setelah merasa cocok dan saling tertarik maka langkah selanjutnya setelah nadzor (pertemuan) seharusnya khitbah (melamar) sang calon berjanji akan datang menemui keluarga saya di sumatera dua minggu lagi. Setelah dua minggu saya mendapat kabar bahwa sang calon tidak bisa melanjutkan ta’aruf, saya kaget dan bertanya apa yang salah? Tetapi bukan permintaan maaf yang saya dapatkan melainkan ketidak setujuan orangtuanya yang menolak saya karena bersuku berbeda dari keluarga besarnya dan berasal dari pulau seberang.
Akh, Indonesia kenapa cinta ku harus mengalami diskriminasi.