JAKARTA - Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta bekerja sama dengan Prodi Magister S-2 Pendidikan Sejarah UNJ, PMII Universitas Negeri Jakarta, BEM Prodi Pendidikan Sejarah UNJ, LPM Didaktika dan FPPI Jakarta menggelar acara bedah buku 'Menjerat Gus Dur' di Aula Bung Hatta, Universitas Negeri Jakarta.
Dalam bedah buku ini hadir, antara lain Virdika Rizky Utama (Penulis Buku), KH. Robikin Emhas (Ketua PBNU dan Savic Ali (Direktur NU Online).
Koordinator Prodi Pendidikan Sejarah UNJ, Humaidi mengatakan bahwa Gus Dur adalah tokoh kebanggaan, seorang presiden yang kyai.
Buku ini menawarkan sebuah interpretasi sejarah bahwa penyebab Gus Dur bukanlah sekedar Brunei dan Bulloggate, lebih dari itu ada jejaring di baliknya, konspirasi yang luar biasa.
Dr. Umasih, M.Hum dalam sambutannya menyebut bahwa buku ini memiliki pengaruh luar biasa. Salah satu buktinya adalah buku ini selalu habis dipesan banyak orang. Tentunya hal ini membanggakan bagi UNJ, mengingat Virdika adalah alumnus Prodi Pendidikan Sejarah UNJ.
Dalam bedah buku yang dimoderatori Dr. Kurniawati ini, penulis buku, Virdika Rizky mengatakan bahwa awal penulisan buku ini adalah ketidaksengajaan.
"Awalnya saya sedang diliputan di kantor DPP Golkar, dan menemukan dokumen di tempat sampah. Dokumen itu menarik, sehingga saya meminta izin untuk mengambilnya. Setelah itu, orang-orang yang tersebut dalam dokumen penjatuhan Gus Dur saya wawancarai," kata dia.
Robikin Emhas dalam uraiannya menyebut bahwa tujuan berpolitik bagi Gus Dur adalah memastikan martabat manusia lewat pemerintahan dan kemanusiaan. Buku ini mengangkat sisi orang yang berjuang untuk hal itu, tetapi kemudian dijatuhkan. Namun demikian, buku ini diposisikan untuk menemukan kebenaran, bukan kemudian membenci tokoh-tokoh yang dianggap berada di balik kejatuhan Gus Dur.
Sementara itu, sebagai pembedah buku, Savic Ali menyatakan bahwa buku ini menunjukkan dengan sangat gamblang, bagaimana proses demokrasi dan perpolitikan diindonesia diperngaruhi oleh tangan lama orde baru yang terus bercokol dalam kekuasaan, sekalipun sudah terjadi proses reformasi. Kejatuhan Gus Dur, adalah sebuah momentum yang mengubah jalan demokrasi. Pasca reformasi, justru Golkar yang identik dengan Orde Baru kemudian tetap besar. "Bahkan partai-partai besar lain era reformasi kemudian lahir dari tokoh-tokoh konvensi Partai Golkar, seperti Nasdem (Surya Paloh), Gerindra (Prabowo) dan Hanura (Wiranto)", ujar Savic.
Savic menuturkan bahwa selama kekuatan oligarki bercokol, maka selama itu juga akan menjadi ancaman terhadap kekuatan demokratis di Indonesia. Savic Ali mengutip perkataan Gus Dur bahwa "Bangsa ini pengecut karena tidak pernah berani menghukum yang bersalah"
Acara bedah buku ini dihadiri oleh 250 peserta dari berbagai kalangan, seperti mahasiswa, pelajar, insan media dan masyarakat umum.