KLIKANGGARAN -- Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup dalam ruang hampa. Sejak pertama kali membuka mata di dunia, kita sudah terikat oleh interaksi—dengan keluarga, teman, tetangga, hingga rekan kerja.
Interaksi ini adalah keniscayaan, sebuah kodrat yang tak bisa dihindari. Setiap hari, setiap waktu, manusia saling bersinggungan, baik dalam kata, sikap, maupun perbuatan.
Namun, interaksi sosial bukanlah ruang yang steril dari konflik. Ia seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di satu sisi, ia bisa menghadirkan kehangatan, kerja sama, dan cinta kasih. Di sisi lain, interaksi juga bisa melahirkan luka, pengkhianatan, dan kekecewaan.
Baca Juga: Tangani Banjir Malangke, PT. Vale Indonesia Bantu Pemda Lutra 2.000 Kantong Jumbo Bag
Tak ada seorang pun yang dapat menjamin bahwa setiap hubungan akan selalu berjalan mulus. Sebab, sejatinya, kita semua adalah manusia yang penuh kekurangan dan keterbatasan.
Dalam momen-momen yang menyakitkan, ketika kepercayaan dikhianati atau ketika kebaikan dibalas dengan kejahatan, muncul pertanyaan besar di dalam hati: haruskah aku memaafkan? Jawaban ini tidak selalu mudah. Sebab memaafkan bukan sekadar kata, melainkan sebuah proses emosional dan spiritual yang kompleks. Ia menuntut kelapangan jiwa, kebesaran hati, dan kekuatan yang tak kasatmata. Bahkan, terkadang, memaafkan bisa lebih berat daripada membalas.
Namun, ajaran agama dan nilai-nilai luhur kemanusiaan selalu mendorong manusia untuk memaafkan. Memaafkan berarti melepaskan beban dendam yang menggerogoti jiwa. Ia bukan bentuk kelemahan, melainkan simbol kematangan moral dan keteguhan spiritual. Memaafkan memungkinkan luka hati perlahan pulih, memberi kesempatan pada jiwa untuk bernapas tanpa dibebani kebencian. Ia bukan hadiah untuk orang yang menyakiti kita, melainkan hadiah untuk diri kita sendiri—sebuah pembebasan batin.
Baca Juga: 2 Pokmas di Lutra Terima Bantuan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Senilai Rp 1,5 Milyar
Lalu muncul pertanyaan kedua, yang tak kalah penting: kalau sudah memaafkan, haruskah kita juga melupakan? Di sinilah letak perdebatan moral dan emosional yang sering terjadi. Sebab melupakan, bagi sebagian orang, dianggap sebagai tanda keikhlasan. Namun, pada kenyataannya, tidak semua luka bisa (atau harus) dilupakan. Terlebih, jika pengalaman tersebut membawa dampak besar dalam hidup, baik secara emosional maupun material.
Memaafkan tetapi tidak melupakan bukan berarti kita menyimpan dendam. Bukan pula berarti kita menunggu waktu untuk membalas. Akan tetapi, sikap ini adalah bentuk pertahanan diri yang sehat.
Melupakan sama sekali bisa membuat kita lengah, bahkan kembali menjadi korban dari kesalahan yang sama. Mengingat menjadi cara kita belajar, berkembang, dan membangun batas-batas yang lebih bijak dalam relasi sosial kita.
Baca Juga: Bupati Serahkan Bantuan Alsintan ke Sejumlah Poktan pada Puncak Peringatan Hari Jadi XXVI Luwu Utara
Bayangkan dua orang sahabat yang menjalankan usaha bersama. Salah satu di antaranya diam-diam menyalahgunakan kepercayaan dan mengambil keuntungan pribadi. Sang korban tentu merasakan sakit yang mendalam—bukan hanya soal kerugian materi, tetapi juga soal dikhianatinya sebuah kepercayaan. Ketika ia memaafkan, itu adalah keputusan mulia. Namun, jika ia tetap mengingat kejadian itu, bukan berarti ia belum ikhlas. Ia hanya sedang menjaga dirinya, agar tidak jatuh pada lubang yang sama untuk kedua kalinya.
Lebih dari itu, mengingat bisa menjadi sumber kebijaksanaan. Ia adalah catatan hidup yang mengajari kita siapa yang bisa dipercaya, sejauh mana batas yang harus dijaga, dan nilai apa yang tidak bisa ditawar dalam hubungan sosial. Bahkan, luka masa lalu kadang menjadi guru terbaik yang tak kita minta, tetapi sangat kita butuhkan.