peristiwa

SKK Migas Harus Menjamin Warisan Limbah Beracun dari Operasi Chevron

Kamis, 20 Mei 2021 | 10:10 WIB
images (13)


Jakarta,Klikanggaran.com Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, menuturkan bahwa harapan besar masyarakat Riau di sekitar Blok Rokan kini bak terhempas dalam kekecewaan yang paling dalam. Pasalnya, masyarakat sudah berharap bakal segera menikmati gurihnya hasil minyak bumi mereka yang selama 94 tahun mereka tonton disedot oleh perusahaan Chevron. Sebab, hampir pasti, sisa limbah B3 berupa Tanah Terkontaminasi Minyak (TTM) yang akan dinikmati mereka ke depan saat ini.


"Mereka sudah mendengar informasi yang beredar, bahwa saat penyerahan alih kelola Blok Rokan dari PT Chevron Pasifik Indonesia (CPI) kepada Pertamina Hulu Rokan adalah tanggal 8 Agustus 2021, namun ternyata hingga sekarang masih tersisa sekitar 7 jutaan metrik ton limbah TTM yang berada di area operasi PT CPI, termasuk di dalam Tahura dan Pusat Pelatihan Gajah Minas," ungkap Yusri, Kamis (20-5).


Menurut Yusri, meskipun hal itu telah memantik kemarahan Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau pada 18 September 2018 silam, namun kemarahan itu tidak disalurkan melalui tuntutan hukum atau upaya lain yang relevan dan efektif.


"Demikian juga Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Riau yang melalui Kepala Seksi Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa, Dwipayana mengatakan soal keberadaan limbah beracun itu telah berlangsung lama, lebih dari 15 tahun dilaporkan masyarakat namun sampai kini PT CPI tidak punya itikad baik menyelesaikan tanggungjawabnya. Tetapi Pemprov Riau hingga sekarang juga ternyata cuma bermasgul, seperti terhanyut dalam lamunan tanpa arah," ungkap Yusri.


Sebab itu, kata Yusri, wajarlah jika 'Kepala Suku' Yayasan Anak Rimba Indonesia (Arimbi), Mattheus, mulai berkeluh kesah ke media dan menyatakan ucapan Manager Corcom PT CPI, Sonitha Purnomo, yang mengatakan bahwa PT CPI akan bertanggungjawab terhadap lingkungan itu hanya pencitraan.


"Bagi kami, ucapan Sonitth atau CPI  itu malah hanya pepesan kosong semata. Bagaimana mungkin bisa menyelesaikan limbah beracun sebanyak dan di luas area yang demikian dalam tempo tiga bulanan? Beranikah CPI menjaminkan sejumlah uang yang cukup sebagai retensi untuk membersihkan limbah itu hingga tuntas jika tidak selesai hingga sehari sebelum tanggal penyerahan Blok Rokan ke Pertamina?," lanjut Yusri.


Lagi pula, kata Yusri, Presiden Direktur CPI, Albert Simanjuntak, di depan DPR RI pada 20 Januari 2020 telah berkilah bahwa setiap tanah terkontaminasi minyak apabila ingin dimasukan sebagai biaya cost recovery harus mendapat izin dari KLHK serta persetujuan SKK Migas, yang harus mengontrol berapa luas tanah terkontaminasi, baru mereka bisa laksanakan.


"Lalu kilah Albert, sebenarnya awal 2018 CPI telah melaporkan ke SKK Migas agar diizinkan menyelesaikan pemulihan TTM sebelum kontraknya di blok Rokan berakhir. Sebab CPI telah menginventarisir terhadap titik tanah yang terkontaminasi dan meminta SKK Migas menyetujui anggaran pemulihan itu. Namun SKK Migas membatasi anggaran yang bisa dimasukan dalam cost recovery. Sebab itulah, banyak titik-titik yang tidak bisa dipulihkan dan yang tersisa itu jadi tanggungjawab SKK Migas," beber Yusri.


Lebih lanjut Yusri membeberkan, Gubernur Riau pada 28 April 2021 pun telah berkirim surat ke Menteri ESDM Cq Dirjen Migas untuk menanyakan soal apa realisasi dari workshop sosialisasi pemulihan TTM pada 9 April 2021 dan keberlanjutan program pemulihan TTM tersebut. Surat yang diminta harus dijawab paling lambat tanggal 4 Mei. Sebab Gubernur merasa bertanggung jawab harus meneruskan keluhan masyarakatnya.


"Namun, jawaban Dirjen Migas ke Gubernur Riau dalam surat tertanggal 4 Mei 2021 terkesan sangat normatif bahkan cuci tangan. Karena isinya justru mengatakan bahwa selama sisa jangka waktu kontrak 8 Agustus 2021, PT CPI akan tetap melanjutkan kegiatan pemulihan limbah TTM sesuai Work Program dan Budget yang telah disetujui oleh SKK Migas. Lalu, siapa yang akan bertangungjawab jika pembersihan limbah itu tidak selesai hingga 8 Agustus 2021?," ungkap Yusri.


Anehnya, kata Yusri, bak kura-kura dalam perahu, surat Gubernur itu bukannya ditujukan bahkan tidak ditembuskan ke pihak SKK Migas sebagai pihak yang paling bertanggungjawab persoalan limbah beracun ini.


"Jadi, masih kata Dirjen Migas, paska 8 Agustus 2021 kegiatan pemulihan TTM akan diselesaikan berdasarkan HOA antara PT CPI dengan SKK Migas kemudian untuk menyelesaikan pemulihan fungsi lingkungan di sekitar Blok Rokan yang belum selesai, maka SKK Migas akan menugaskan Pertamina Hulu Rokan, entah dengan biaya yang harus dibebankan kepada siapa," ungkap Yusri.


Yang pasti, sambung Yusri, dari penjelasan Dirjen Migas itu, telah semakin jelaslah bahwa telah terjadi pelanggaran oleh CPI terhadap UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 tahun 2003 Tentang Tatacara dan Persyaratan Tehnis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi Secara Biologis, yang membawa konsekuensi ancaman pidana.


"Sehingga, pihak penegak hukum harus segera bertindak sebelum para petinggi  Chevron pulang ke negaranya atau keluar jurisdiksi hukum kita," beber Yusri.

Halaman:

Tags

Terkini