peristiwa

Pembangunan Inklusif Disabilitas: Memastikan "No One Left Behind"

Kamis, 3 Desember 2020 | 23:03 WIB
images (5)


Jakarta,Klikanggaran.com - Pembangunan Inklusif disabilitas merupakan sebuah langkah untuk menjamin seluruh kelompok masyarakat, khususnya Penyandang Disabilitas, dapat terlibat dalam seluruh proses pembangunan, baik pada proses perencanaan pembangunan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, maupun evaluasi pembangunan yang bertujuan untuk mencapai masyarakat inklusif yang dapat mengakomodasi perbedaan dan menghargai keberagaman masyarakat.


Akan tetapi, pada kenyataannya peran penyandang disabilitas di dalam masyarakat masih ter-stigma, masih terpinggirkan dan belum sepenuhnya dilihat sebagai individu yang memiliki hak yang sama untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan. Stigma dan diskriminasi menjadi penghambat utama yang meminggirkan para penyandang disabilitas dari peran-peran sosial.


Berikutadalah beberapa catatan FITRA atas implementasi kebijakan dan anggaran untuk disabilitas pasca disahkannya UU Disabilitas tahun 2016.


Kebijakan anggaran untuk disabilitas masih memakai paradigma charity-base.


Paradigma charity base ini kemudian menyebabkan struktur anggaran disabilitas masih didominasi oleh program dan kegiatan yang bersifat bantuan sosial.


Alokasi anggaran terbesar untuk disabilitas terdapat di Kementrian Sosial terutama untuk kegiatan rehabilitasi sosial.  Alokasi anggaran ini cenderung menurun setiap tahun. Hal ini tentu menjadi pertanyaan mengenai keseriusan pemerintah dalam mewujudkan pembangunan yang inklusi bagi  penyandang disabilitas.


Ketimpangan kesempatan dan peran serta masyarakat disabilitas di dalam dunia kerja masih sangat tinggi.


Hingga saat ini penyandang disabilitas kerap mengalami hambatan dalam memperoleh kesempatan bekerja, serta mengalami perlakuan yang berbeda dari para pemberi kerja.


Data BPS menunjukkan terjadi ketimpangan yang cukup besar antara pekerja penyandang disabilitas dengan pekerja non-disabilitas. Dalam kurun waktu 2016 – 2019 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penyandang disabilitas semakin menurun dan hal ini menjelaskan kondisi dan  kesulitan bagi para penyandang disabilitas untuk mengakses dunia kerja.


Tak hanya itu, TAPK bagi para penyandang disabilitas perempuan jauh lebih rendah dibandingkan laki – laki. Pada tahun 2019, TPAK bagi penyandang disabilitas perempuan hanya sebesar 33,96 persen, dan TPAK bagi penyandang disabilitas laki-laki sebesar 60,06 persen.


Sebanyak  1,37 juta orang atau sekitar 72%  penyandang disabilitas bekerja pada sektor  informal.


Kondisi ini menyebabkan tingkat  kerentanan sosial dan ekonomi yang sangat tinggi bagi  para penyandang disabilitas. Persentase ini jauh lebih tinggi dibandingkan persentase masyarakat non-disabilitas yang bekerja di sektor informal.


Selain itu, penyandang disabilitas juga  mengalami diskriminasi dalam pengupahan. Keterbatasan ruang bekerja bagi disabilitas sangat berpengaruh terhadap kesempatan pemenuhan hak lainnya bagi penyandang  disabilitas, seperti hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, dll.


Rekomendasi

Halaman:

Tags

Terkini