peristiwa

Waduh, Direksi Pertamina Diduga Berbohong pada Presiden Soal Data Simulasi Harga BBM?

Sabtu, 9 Mei 2020 | 22:45 WIB
Data BBM


Jakarta, Klikanggaran.com - Salah satu alasan Pertamina belum bisa menurunkan harga BBM-nya sesuai kondisi pasar saat ini adalah karena diwajibkan membeli minyak mentah hak KKKS. Selain itu Pertamina adalah bukan trading company seperti diucapkan Dirut Pertamina Nicke Widyawati, yang bisa dianggap terlalu mengada-ada. Demikian disampaikan oleh Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI, di Jakarta, 9 Mei 2020.


“Apalagi katanya, harga minyak mentah milik KKKS telah dibeli Pertamina jauh lebih mahal daripada harga dari pemasok luar negeri. Bahkan katanya, harga belinya bisa mencapai ICP (Indonesian Crude Price) plus USD 7 hingga USD 13 untuk minyak Banyu Urip, Duri, dan Minas. Ini adalah sebuah keanehan dan tidak masuk akal sehat,” tutur Yusri.


Yusri Usman berasumsi, meskipun rumornya penetapan harga ICP oleh KESDM setiap bulannya diduga sarat kepentingan banyak pihak, termasuk kepentingan operator KKKS, karena sangat berpengaruh terhadap bagi hasil dari setiap barel produksi minyak, sehingga salah menetapkan nilai ICP yang benar, bisa berpotensi negara dirugikan.


Menurutnya, semenjak tidak ada koordinasi antara pengelola usaha hulu migas (KESDM dan SKKMIGAS) dengan Pertamina yang mengelola kilang dan penyediaan BBM, telah terjadi hal yang menyedihkan dan "merugikan" Negara, juga rakyat Indonesia. Harga minyak atau ICP yang digunakan untuk menghitung kontrak bagi hasil atau PSC cenderung Under Value, sehingga malapetakanya minyak Indonesia yang digunakan untuk membayar investasi kontraktor atau cost recovery volume atau jumlahnya akan semakin besar.


“Tentu saja minyak bagian atau entitlement Kontraktor menjadi sangat besar, jumlah minyaknya berasal dari Cost Recovery ditambah minyak dari Bagi Hasil,” kata Yusri.


“Celakanya lagi, minyak bagian KKKS (sekitar 40 – 50 persen dari total produksi sumur minyak) apabila dibeli oleh Pertamina harganya TIDAK ICP atau tidak sama dengan harga minyak yang digunakan untuk kontrak hulu migas. Dikarenakan ICP cenderung "under value", maka Pertamina membeli minyak bagian KKS dengan harga ICP plus premium atau ICP +++. Berdasarkan info dari beberapa sumber, diperoleh data bahwa Pertamina membeli minyak KKKS hingga ICP plus di atas 10 usd per barel yaitu Minyak Duri,” papar Yusri.


Tentu saja menurutnya, sangat berat bagi Pertamina apabila membeli crude dalam negeri untuk feedstock kilang. Ini bukti bahwa ada masalah dalam pricing ICP, dan diketahui juga bahwa di kawasan regional Asia Tenggara, mutu minyak mentah Indonesia setara atau bahkan lebih tinggi dibanding Malaysia, Brunei,Thailand, Vietnam. Namun, nilai ICP jauh di bawah harga minyak di Negara Negara tersebut. Alhasil, BBM atau produk kilang yang dihasilkan Kilang Pertamina dengan membeli crude domestic milik KKS telah menaikkan ongkos produksi.


“Padahal menurut Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018 sudah diatur bahwa kesepakatan harga beli minyak mentah oleh Pertamina terhadap KKKS itu berbasiskan bussines to business, dan tidak boleh memberatkan sepihak. Artinya, kalau harga minyak mentah import dari hitungan bisnisnya, Pertamina jauh lebih murah daripada harga KKKS, maka tidak ada kewajiban bagi Pertamina untuk tetap membeli minyak dari KKKS,” ulas Yusri.


Maka menurut Yusri, sangat keliru ketika ada pendapat kalau Pertamina tidak beli minyak KKKS, maka KKKS itu akan mati. Karena KKKS seperti Chevron, Exxon, Petrochina, Petronas, ENI, Total, Conoco yang produksinya mencakup hampir 60% produksi nasional di Indonesia adalah perusahaan minyak kelas dunia raksasa yang jauh lebih besar daripada Pertamina.


Pendapat Yusri Usman, perihal pembelian minyak mentah ex KKKS inilah yang penting dari sejak awal Pertamina harus informasikan. Kalau Pertamina tidak berminat dengan pertimbangan yang logis, maka KKKS bisa lebih awal menawarkan ke pihak pembeli lainnya dan bisa mengurus rekomendasi ekspor, supaya tidak terjadi kekacauan inventory di terminal muat milik KKKS.


“Malah seharusnya Pertamina sebagai BUMN strategis yang telah ditugaskan oleh negara untuk menjamin tersedianya BBM dengan kualitas baik, takaran yang benar dan harga jual sesuai keekonomiannya untuk bisa dibeli oleh rakyat, maka seharusnya Pertamina lebih peduli kalau rakyat yang akan mati akibat harga BBM dijual mahal daripada memikirkan KKKS akan mati. Itulah bagian penting dari pesan konstitusi,” ujar Yusri.


“Harusnya Pertamina bisa lebih jujur sama rakyat bahwa sampai hari ini belum diturunkan harga BBM lebih disebabkan inefisiensi dalam tubuh Pertamina, juga banyaknya proses bisnis yang terlanjur tidak efisien dari hulu ke hilir. Termasuk struktur organisasi sudah terlalu gemuk dengan menempatkan 11 direksi sudah kami protes sejak awal ditetapkan KBUMN,” lanjutnya.


Yusri menegaskan, kondisi saat ini tentu sangat berbeda dengan kondisi pernah terjadi pada awal tahun 2015 hingga Juni 2016, ketika harga minyak dunia sempat menyentuh ke level USD 30 per barel hanya dalam beberapa bulan. Akan tetapi, tidak melampaui batas keekonomian rata-rata biaya produksi sumur di hulu, dan konsumsi BBM nasional tidak ada penurunan, dengan langkah inovatif dari Direksi saat itu muncul produk Pertalite dan Dexlite telah membuat sektor hilir telah memberikan kontribusi laba besar terhadap Pertamina pada akhir tahun 2015 dan 2016.


Dan menurut pandangan Yusri, kalau ditelisik lebih mendalam, ternyata Pertamina terlanjur telah dibebani penyakit lama dari hulu sampai hilir, sehingga sangat ringkih koceknya ketika harga minyak dunia sudah menyetuh level sekitar USD 35 hingga USD 40 per barel, karena rata-rata biaya pokok produksi sumurnya sekitar USD 30 per barel.

Halaman:

Tags

Terkini