Akan tetapi, aneh dan lucunya menurut Yusri, oleh Direksi PLN nilai diskon itu akan dicatatkan sebagai piutang PLN kepada PGN dan dicatat juga sebagai pemasukan di dalam laporan keuangan PLN tahun 2018. Padahal di sisi lain pada laporan keuangan PGN tahun 2018 yang sudah diaudit dan dirilis ke publik dalam RUPS baru baru ini. Nilai diskon itu tidak tercantum sebagai liability/kewajiban saat ini, tentu konsekwensinya akan tidak sesuai kalau dicocokkan antara laporan keuangan PT PGN Tbk dengan laporan keuangan PT PLN yang saat ini lagi difinalisasikan.
“Oleh karena itu, terkesan Direksi PLN telah berupaya memasukkan nilai diskon harga jual gas itu secara tidak tepat waktu dan melanggar prinsip-prinsip akuntasi,” ujar Yusri.
Menurut Yusri, diduga semua itu dilakukan hanya sebagai upaya mencitrakan di tahun politik, bahwa keuangan PT PLN sekarang sangat sehat dan mampu meraih laba. Sepertinya modus yang hampir sama dilakukan dengan cara penyajian laporan keuangan PT Garuda Indonesia yang dianggap kontroversial, karena dua anggota komisarisnya telah menolak menyetujuinya.
“Apakah upaya ini bisa disebut sebagai upaya kejahatan korporasi untuk mengecoh publik? Mari kita tunggu akhir cerita dari laporan keuangan PT PLN yang tidak ada kepastian kapan akan dirilis secara resmi,” cetus Yusri.
Padahal menurut Peraturan Bersama Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.01/2007 dan Menteri BUMN Nomor : PER-04/MBU/2007 tentang Penyampaian Ihtisar Laporan Keuangan Perusahaan Negara tertulis BUMN paling lambat LKPN pada 15 Febuari setiap tahunnya.
Sehingga keterlambatan laporan keuangan beberapa BUMN strategis ini tak terlepas dari tanggung jawab Dewan Komisaris dan Kementerian BUMN yang bisa dianggap telah gagal dalam mengawasi dan membinanya. Maka seharusnya memberikan nilai buruk KPI (Key Performance Indicator) kepada semua direksinya.
“Apalagi saat ini mantan Dirut PLN dalam status tersangka di KPK, dan tidak tertutup kemungkinan direksi lainnya dan mantan direksinya akan menyusul,” tutup Yusri.