peristiwa

Testimoni Sudirman Said Soal Freeport, Menteri Jonan Dinilai Gagal Paham

Kamis, 21 Februari 2019 | 17:30 WIB
Testimoni

Jakarta, Klikanggaran.com (21-02-2019) – Mendadak ada yang tak biasa di kantor KESDM pada Rabu malam (20/2/2019) sampai dengan tengah malam, setelah pada sore sebelumnya digelar acara diskusi publik berjudul "Mengelola Sumber Daya Alam, Menjaga Harkat Negeri". Diskusi tersebut digagas oleh Institut Harkat Negeri untuk membedah buku "Satu Dekade Nasionalisme Pertambangan" karya Dr Simon Felix Sembiring. Demikian disampaikan oleh Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI, di Jakarta, Kamis (21/02/2019).

Yusri mengatakan, sontak istana seperti kebakaran jenggot ketika beredar penjelasan Sudirman Said yang telah dikutip oleh ratusan media. Said mengatakan bahwa surat yang dibuatnya pada 7 Oktober 2015 adalah atas perintah dan persetujuan Presiden Jokowi. Sebab surat itu dibuat Sudirman Said setelah dipanggil ke istana pagi hari sekitar pukul 9.30 WIB untuk menjumpai Presiden.

Yang lebih mengagetkan Sudirman Said adalah, ternyata didalam ruang sudah ada James Moffett CEO Freeport Mc Moran bersama Presiden Jokowi. Sebelum masuk ruangan, Sudirman sempat dibisikin oleh Spri bahwa "peristiwa acara ini tidak ada".

Sudirman Said, untuk menjaga nama baiknya, perlu mengklarifikasi apa yang tertulis di halaman buku Simon Sembiring. Diceritakan, bahwa surat yang dibuatnya tanggal 7 Oktober 2015, yang telah ditafsirkan sebagai memberikan kepastian operasi PTFI (PT Freeport Indonesia), itu bukan inisiatif dia. Akan tetapi, atas perintah Presiden.

Atas hal tersebut, Yusri berpendapat, seharusnya Menteri Jonan paham. Bahwa apa yang diungkap oleh Sudirman Said adalah klarifikasi "episode papa minta saham". Akan tetapi, apa yang diungkap Menteri Jonan adalah "epsiode PI Rinto ada di dalam divestasi PTFI".

“Hanya karena muncul kasus papa minta sahamlah yang telah menghebohkan jagat politik dan hukum telah mengakibatkan "episode 1" menjadi terhenti. Namun, setelah direvisi ke 4 PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Pertambangan Mineral dan Batubara melahirkan PP Nomor 1 tahun 2017, bisa dilanjutkan ke "episode 2", yang berisikan PI Rio Tinto mendadak terungkap di ruang publik pada Agustus 2017,” tutur Yusri.

“Seharusnya Jonan dalam rilisnya menjelaskan subtansi apa yang terungkap di dalam buku Simon Sembiring terkait surat Mentamben IB Sujana Maret 1995 dan 29 April 1996, serta surat penegasan Menkeu Marie Muhammad 1 April 1996 yang menyetujui PI Rio Tinto di Blok B, bukan di Blok A,” lanjutnya.

Adapun mekanisme surat tersebut, lanjut Yusri, kata Simon Sembiring kalau dilihat dari perspektif KK 1991 pada pasal 28 ayat 2, dapat dikatakan "illegal". Karena tidak diproses melalui Direktorat Jenderal Pertambangan Umum yang saat itu dijabat oleh Kuntoro Mangkusubroto.

Kalau benar apa yang dikatakan oleh Simon Sembiring dan bisa dibuktikan dengan proses pengadilan arbitrase bahwa surat itu illegal, maka menurut Yusri PT Inalum harusnya bisa menyelamatkan miliaran dolar Amerika, akan tetapi bisa mendapat saham 51,2% di dalam PTFI.

“Sehingga rilis Menteri ESDM Jonan hanya lebih ingin menyelamatkan posisi Presiden Jokowi di depan publik, daripada menjawab subtansi masalahnya divestasi tersebut,” kata Yusri.

Menurut Yusri, keheranan Simon adalah bagaimana mungkin bisa, dengan mudahnya diakui PI Rio Tinto akan menjadi saham 40% PTFI untuk periode 2022 sd 2041? Karena menjanjikan sesuatu melampaui batas waktu KK 1991 dapat dikatakan pelanggaran yang berpotensi bisa dipidanakan. Karena KK 1991 baru akan berakhir pada 30 Desember 2021, karena Pemerintah dapat saja tidak memperpanjang operasi PTFI asal dengan alasan yang wajar.

“Jadi Jonan dapat dikatakan gagal paham kalau mengatakan bahwa surat surat terdahulu tidak relevan dan tidak dijadikan dasar perundingan. Sementara surat IB Sujana telah dipakai untuk mengakui keberadaan PI Rio Tinto di dalam PTFI,” tutup Yusri Usman.

Adapun bagian dari rilis Menteri ESDM tanggal 20 Febuari 2019, beredar pukul 23.00 WIB yang dimaksud Yusri Usman adalah sebagai berikut :

Jonan menambahkan bahwa apabila ada pertemuan, perundingan atau surat yang terjadi sebelumnya, hal tersebut sudah tidak relevan karena tidak lagi dijadikan dasar perundingan.

"Dengan ditugaskannya saya jadi Menteri ESDM, perundingan start dari nol. Dan, perundingan atau surat sebelum-sebelumnya tidak dijadikan dasar lagi. Kalau seandainya dijadikan dasar, gak mungkin dong kita bisa dapat divestasi 51%," pungkas Jonan.

"Jadi apa yang ditulis di surat saat pendahulu-pendahulu saya itu tidak dipakai, kita hanya berunding dengan basis baru. Jikalau toh ada pertemuan itu, kan nggak relevan, kan tidak kita pake juga," tambah Jonan.

Saat Ignasius Jonan menjabat sebagai Menteri ESDM, Presiden tidak pernah menerima Richard Adkerson secara khusus untuk membahas masalah Freeport. Pertemuan hanya terjadi saat selesainya divestasi 51% Freport pada 21 Desember 2018 lalu.

"Presiden tidak pernah menerima Freeport secara khusus di zaman saya. Sampai ditandatanganinya IUPK baru ketemu dengan Presiden, Itu saja," tegas Jonan.

Baca juga : Inalum Diduga Membeli PI Rio Bodong di Tambang Freeport?

Tags

Terkini