Jakarta, Klikanggaran.com (21-12-2018) - Kerugian sebesar Rp 460 milyar, sungguh memilukan. Rakyat menilai, inilah antiklimaks kebanggaan kedaulatan semu atas cerita kepemilikan saham 51% di tambang PT Freeport Indonesia (PT FI).
Semua muncul dan menjadi terbuka pada saat salah satu pejabat menjelaskan ke berbagai awak media pada hari Rabu (19/12/2018) di kantor BPK-RI BPK. Anggota VII BPK-RI, Rizal Djalil, didampingi Menteri ESDM Igantius Jonan dan Menteri LHK Siti Nurbaya, menyampaikan dengan tegas terkait hasil audit.
PT Freeport Indonesia (PT FI)
Bahwa aktifitas penambangan PT Freeport Indonesia (PT FI) awalnya tercatat 14 temuan dari nilai ekosistem yang dikorbankan (potensi keusakan lingkungan). Nilainya sebesar USD 13.692.299.294 atau setara Rp 185 triliun. Ironisnya, potensi itu menjadi hilang.
Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, menyayangkan, bahwa BPK sekadar mengenakan kewajiban PNBP sebatas Rp 460 miliar terhadap PT Freeport Indonesia (PT FI). Dari sisi potensi, menurut Yusri secara material tetap sebagai potensi.
“Dengan hilangnya nilai kerugian yang harus dipertanggungjawabkan PT FI, apakah rakyat yang harus menalangi melalui APBN?” tanya Yusri pada Klikanggaran.com di Jakarta, Jumat (21/12/2018).
Perhitungan Awal BPK
Perhitungan awal BPK didasarkan atas hasil perhitungan jasa ekosistem yang hilang. Dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) terhadap dampak tailing PT FI. Perhitungan tersebut didasarkan dari Analisis Perubahan Tutupan Lahan tahun 1988 - 1990 dan 2015 - 2016 oleh Lembaga Antariksa Penerbangan Nasional (LAPAN).
“Meskipun hasil tersebut harus didiskusikan terlebih dahulu dengan KLHK, untuk menilai atas dasar ketentuan yang ada,” kata Yusri.
Selain itu, justru ditemukan PT FI telah menggunakan kawasan hutan lindung seluas 4.555 Ha tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan II (PPKH). Ini dinilai sebatas sebagai kerugian PNBP, bukan kejahatan pidana kehutanan seperti dimaksud pasal 50, 74, 75, 77, dan terakhir pasal 78 tentang Ketentuan Pidana di dalam UU Kehutanan.
Yusri menegaskan, dengan pola yang dilakukan PT FI selama ini, jelas telah menggeser dan menempatkan BPK dengan sadar, telah menghancurkan kredibilitas IPB dan LAPAN. Ironisnya menurut Yusri, Lembaga Negara selevel BPK dipermainkan dan dihancurkan sebatas hanya demi kepentingan korporasi asing.
Pelanggaran dan Sikap Menteri
Padahal semestinya, BPK dapat berkaca terhadap PERDA DKI Nomor 8 Tahun 2007. Menebang 1 batang pohon saja di DKI Jakarta tanpa izin, dapat dikenakan denda mencapai Rp 25 juta.
“Aneh dan lucu. Dalam acara yang sama, Menteri LHK bersikap seolah-olah membenarkan pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia. Di antaranya penggunaan kawasan hutan lindung tanpa izin, dan dampak negatif kepada lingkungan alam sekitarnya,” sesal Yusri.
“Tentu saja akibat pencemaran hasil pembuangan tailing dari aktifitas penambangan. Besarnya tailing sendiri dapat mencapai sekitar 230.000 metrik ton per hari,” lanjutnya.
Yusri mengatakan, dangan mencabut Keputusan Menteri LHK No.175 /2018 tentang Pengelolaan Limbah Beracun Berbahaya (B3), telah menempatkan Pemerintah (KLHK) secara otomatis harus tunduk atas Peta Jalan (road map) pengelolaan limbah dan lingkungan hidup yang dibuat oleh PT FI.
“Ini sangat jelas, kedaulatan negara yang diamanatkan kepada Pemerintah untuk mengelola sumber daya alam sesuai Undang-Undang, telah dirampas oleh PT FI,” ujar Yusri.
Padahal dampak negatif pencabutan Kepmen KLHK sangat luas, termasuk memberikan peluang besar bagi perorangan atau badan usaha yang telah nyata sengaja melanggar ketentuan soal limbah B3. Mereka tentu akan menuntut keadilan perlakuan yang sama seperti dilakukan terhadap PT FI.
Contoh lainnya menurut Yusri, dampak negatif dapat dicatat atas ucapan Dirjen Minerba Bambang Gatot pada salah satu media (13/12/2018). Bahwa rencana perubahan ke 6 PP No. 23 tahun 2010 itu agar Pemerintah bersikap adil terhadap 8 pemilik PKP2B generasi 1 untuk diperlakukan sama dengan pemilik KK.
Pemerintah Harus Tegas
Demi menjaga ketahanan energi nasional, seharusnya pemerintah dapat bersikap tegas. PKP2B generasi 1 yang akan berakhir waktunya, seharusnya diserahkan kepada BUMN Tambang untuk dikelola.
“Tanpa sikap ini, maka potensi penerimaan jauh lebih besar setiap tahunnya. Padahal untuk mengambil alih PKP2B, tanpa memperlukan uang sepeser pun. Dibandingkan dengan PI (participacing Interest) Rio Tinto dan saham FXC, untuk memperbesar saham sampai harus mencari pinjaman asing sebesar USD 4 miliar,” papar Yusri.
Menurutnya dari sini jelas, perubahan ke 4 PP No. 23 tahun 2010 yang menghasilkan PP No.1 tahun 2017 sebagai dasar perubahan rezim KK ke IUPK terbukti telah merusak tatanan UU Minerba No. 4 tahun 2009.
Tidak salah jika Guru Besar UI (Prof Hikmahanto Juwana) pernah mengingatkan agar Pemerintah (11/06/ 2015), dikutip media CNN "Guru Besar UI Nilai IUPK Freeport Bentuk Penyeludupan Hukum". Pemberian IUPK kepada PT FI hanya akan menambah kerugian negara. Lebih jauh juga menghimbau seharusnya Presiden Joko Widodo berhati-hati di dalam menetapkan masalah ini.
Penyeludupan hukum, diduga bertujuan menghindari berlakunya hukum nasional untuk memperoleh suatu keuntungan sesuai keinginannya. Sehingga berpotensi menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.
Perubahan Peraturan
Yusri menekankan, terlalu banyak sudah Peraturan Pemerintah, Permen lintas kementerian, yang selalu diubah-ubah. Semua seperti hanya dipakai untuk kepentingan meloloskan PT FI agar dapat melakukan ekspor konsentrat yang jelas-jelas telah melanggar UU Minerba (sejak dibatasi pada tahun 2014). Juga perubahan KK ke IUPK, namun yang selalu ditonjolkan sudah memenuhi pasal 71. Tetapi, tetap mengabaikan pasal 169 ayat b.
“Oleh karena itu, berdasarkan keanehan-keanehan yang tampak terang benderang, sebaiknya KPK turun tangan secepat mungkin. Ini untuk menghindari potensi kerugian yang lebih besar. KPK sebagai fungsi pencegahannya untuk pro aktif mereview kembali dasar perhitungan BPK terhadap temuan soal audit tertentu tersebut,” ujar Yusri.
“Dikaitkan penggunaan hutan lindung tanpa izin sesuai UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 Jo UU Nomor 19 Tahun 2004. UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberatasan Pengrusakan hutan. Dan, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup,” lanjutnya.
Yusri menjelaskan, meskipun PT FI beranggapan KK statusnya sama dengan UU dalam beroperasi, akan tetapi tegas dikatakan dalam pasal 26 Kontrak Karya. Bahwa PT FI wajib dalam operasionalnya untuk sungguh-sungguh menjaga atau mengurangi kerusakan lingkungan.
Hal ini sesuai UU dan peraturan-peraturan perlindungan lingkungan hidup yang sewaktu-waktu diberlakukan di Indonesia dan dipertegas oleh surat Menteri Pertambangan dan Energi RI Nomor 1047/03/M.SJ/1995 tanggal 28 Maret 1995 oleh IB Sudjana perihal "Persetujuan penyelanggaraan Kontrak Karya".
Tegas sudah dikatakan pada point 3 berbunyi, "Semua kegiatan dalam rangka pelaksanaan Kontrak Karya sehubungan pengalihan hak-hak dalam kaitan tersebut di atas harus sesuai dengan ketentuan dan Kontrak Karya dan Undang-Undang Republik Indonesia yang berlaku”.
Baca juga : Penjelasan Pejabat BPK tentang Audit Tambang Freeport Terkesan Aneh?
-