Palembang, Klikanggaran.com (18-12-2018) - Pada tanggal 02 November 2010 PHE-Jambi Merang, Talisman, dan Facific Oil mengikat perjanjian jual beli gas dengan PDPDE Sumsel.
Perjanjian Jual Beli Gas
Perjanjian jual beli tersebut berdasarkan surat dari BPMIGAS yang menunjuk penjual gas bagian negara No.KEP-0034/BP0000/2010-S2. Surat ditujukan kepada PDPDE Sumsel, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan energi di Provinsi Sumatera Selatan.
Di dalam klausal perjanjian jual beli terdapat penunjukan penjual gas bagian negara (PJBG). Dalam hal ini PDPDE Sumsel yang ditunjuk sebagai penjual. Dinyatakan sesuai dengan ketentuan pasal 44 ayat 3 huruf g Undang-Undang No.22 tahun 2001. Dan, ketentuan pasal 11 huruf g PP No 42 tahun 2002 BPMIGAS.
Kemudian pada klausal berikutnya, dinyatakan bahwa BPMIGAS harus untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Undang-Undang No.22 tahun 2001. Dan, PP No.42 tahun 2002 dengan mewajibkan PJBG untuk dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara dalam hal ini Pemerintah Daerah.
Klausal Perjanjian Jual Beli Melanggar
Namun, Gubernur Sumatera Selatan kala itu berinisiatif lain melalui surat No.541/0198/IV/2010. Yang meminta BPMIGAS untuk menyetujui PJBG dialihkan untuk memenuhi kebutuhan industri di Provinsi Jambi.
Celakanya, BPMIGAS yang diwakili Kepala BPMIGAS “Priyono” menyetujui klausal tersebut. Diduga, klausal itu melanggar Undang-Undang No.22 tahun 2001 dan PP No. 42 tahun 2002.
Padahal di dalam surat penunjukan Pemprov Sumsel selaku PJBG terdapat klausal yang sangat jelas menyatakan. Dalam hal calon pembeli gas bermitra/bekerja sama dengan pihak lain dalam pelaksanaan PJBG harus memperhatikan dan tunduk kepada peraturan yang berlaku.
Tujuan untuk memenuhi kebutuhan energi di Provinsi Sumatera Selatan tidak terpenuhi isi surat BPMIGAS yang menunjuk PJBG No.KEP-0034/BP0000/2010-S2 kepada PDPDE Sumsel. Surat tersebut dibuat berdasarkan Undang-Undang No.22 tahun 2001 dan PP No.42 tahun 2002. Intinya untuk kebutuhan energi masyarakat Sumatera selatan.
PDPDE Sumsel yang ditunjuk Gubernur Sumatera Selatan selaku pelaksana PJBG tersebut membuat MOU dengan PT DKLN mengenai PJBG. Dan, bersepakat menunjuk PDPDE Gas sebagi pelaksana PJBG.
Perjanjian PJBG ini tidak menjadi masalah bila mengacu kepada tujuan penunjukan PJBG. Yaitu “mewajibkan penjual gas bagian negara untuk dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara dalam hal ini Pemerintah Daerah”.
Dugaan Kejahatan Korporasi
Perjanjian jual beli gas antara PDPDE Sumsel-PT PDPDE Gas patut diduga menjadi kejahatan korporasi. Lantaran bagian terbesar keuntungan disinyalir menjadi milik koorporasi. Pemprov Sumsel hanya mendapat bagian kecil dari keuntungan penjualan gas bagian negara tersebut.
Lampiran harga kontrak yang disetujui oleh PHE-Talisman-Pacific Oil menyatakan, harga penjualan kepada PDPDE Sumsel senilai US$ 5,4 per MMBTU pada tahun pertama. Kemudian tahun kedua US$ 5,56 selanjutnya pada tahun ketiga US$ 5,73.
Kemudian tahun ke empat US$ 5,90, tahun ke lima US$ 6.08, tahun ke enam US$ 6.28. Lalu, tahun ke tujuh US$ 6.45 selanjutnya tahun ke delapan US$ 6.84 per MMBTU.
PDPDE Gas selaku operator penjualan gas ditunjuk berdasarkan MOU PDPDE Sumsel dengan PT DKLN. Untuk menjual gas bagian negara tersebut pada tahun pertama kepada PT Lontar Papyrus, anak perusahaan APP Sinar Mas. Ditaksir, nilainya sebesar US$ 7.5 atau selisih US$ 2,1 per MMBTU.
Siapa Penerima Keuntungan terbesar?
Lantas, siapa yang menikmati bagian terbesar keuntungan penjualan gas bagian negara sebesar volume 9 MMBTUD ke PT Lontar Payrus pada tahun pertama?
Maka jawabnya tentulah PDPDE Gas selaku makelar yang ditunjuk oleh PDPDE Sumsel dan PT DKLN. Sementara PDPDE Sumsel diduga hanya mendapat commitment fee sebesar US$ 0.1 atau sepuluh sent per MMBTU.
Bila dihitung di atas kertas secara bodoh dan kasar, maka patut diduga PDPDE Gas mendapat keuntungan kotor sangat besar. Pada tahun pertama sebesar US$ 2 X Rp.9.500 X 9 x 1040 X 30 X 12 = Rp64.022.400.000.
Sementara PDPDE Sumsel mendapatkan commitment fee sebesar US$ 0.1 X Rp. 9500 X 9 X 1040 X 30 X 12 = Rp3.201.120.000. Plus pembagian deviden saham 15%.
Kejahatan korporasi Sumber Daya Alam merupakan kejahatan kemanusiaan. Karena berdampak besar bagi kehidupan masyarakat dan sangat bertentangan dengan UUD 45.
“Yang menyatakan bumi dan segala isinya di manfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejateraan rakyat," ujar Feri, pegiat anti korupsi di Sumatera Selatan.
Apalagi adanya usulan pengalihan PJBG oleh Dirut PDPDE Sumsel yang diduga tidak lagi menjabat sejak tanggal 14 Maret 2018 berdasarkan SK Gubernur. Namun, pada tanggal 16 Maret 2018 mengusulkan pengalihan PJBG ke PDPDE Gas dari PDPDE Sumsel.
Usul ini disetujui oleh Menteri Jonan pada tanggal 22 Juni 2018. Disinyalir karena pernyataan Dirut PDPDE Sumsel non aktif. Bahwa PDPDE Gas adalah anak usaha PDPDE Sumsel.
Sehingga PDPDE Gas dianggap merupakan BUMD Prov Sumsel dengan kepemilikan 15% saham terhutang PDPDE Sumsel.
“Yang sangat disayangkan sikap diam Pemprov Sumsel dan audit tertentu terhadap keuangan PDPDE Sumsel yang belum dilaksanakan sampai saat ini. Tentunya akan membingungkan bagi para pegiat anti korupsi Sumsel," cetus Feri mengakhiri keterangannya, Selasa (18/12).
Baca juga : Membuka Tabir Dugaan Mega Korupsi Penjualan Gas PDPDE Sumsel