peristiwa

Tabik! Pertamina Pasok LNG ke Bangladesh

Sabtu, 16 September 2017 | 09:47 WIB
images_berita_Sept17_TIM-LNGP

Klikanggaran.com (16/9/2016) – “Apresiasi yang tinggi dan "tabik dua tangan" perlu kita berikan kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan yang berhasil menjembatani Pertamina dalam menjual LNG kepada Pemerintah Bangladesh sebanyak 1 MPTA dan termasuk Pertamina  memberikan solusi membangun infastruktur teringrasi fasilitas LNG di negara Bangladesh,” kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, pada Klikanggaran.com di Jakarta, Sabtu (16/9/2017).

Selanjutnya, berikut lebih lengkap disampaikan Yusri Usman:

Prestasi tersebut mudah-mudahan bisa menutup aib kerusakan tata kelola migas nasional dari hulu hingga hilir yang merebak ketika terungkap ke publik setelah penandatanganan kesepakatan studi kelayakan bersama antara PLN skala kecil dengan perusahaan dagang Singapore Keppel Submarine dan Pavilon Gas Ltd pada tanggal 7 September 2017.

Peristiwa tragis itu akan menjadi catatan sejarah kelam dari negara bekas produsen LNG terbesar di dunia harus mengiba pada negara kecil yang tidak mempunyai sumber migas. Kita seakan mengemis, minta dibuatkan sebuah studi kelayakan penyediaan dan penyuplaian LNG skala kecil untuk kebutuhan gas Mobil Power Plant milik PLN di sekitar kepulauan Riau.

Padahal, kita punya ratusan tenaga ahli bidang LNG yang sudah membuktikan kemampuannya bisa membangun dan mengoperasikan kilang Arun dan Bontang sejak dibangun tahun 1976. Kemudian muncul lagi kilang LNG Tangguh 1,2 dan 3 serta kilang LNG  Donggi Senoro. Begitu juga pada tahun 1998 kita bisa membangun pipa bawah laut sepanjang 650 km dari lapangan Natuna B ke Singapore dan dari Grissik lewat Batam ke Singapore.

Hal ini bisa terjadi karena tak dapat dipungkiri akibat maraknya praktek "mark up" dan "pajak preman" secara masif, terstruktur, dan sistematis mulai dari hulu sampai ke hilir sektor migas. Belum lagi munculnya banyak trader yang hanya bermodalkan kertas saja, karena hubungan dekatnya dengan penguasa yang lagi berkuasa.

Kerusakan ini diperparah oleh sikap ego sesama BUMN energi sendiri dalam menjalankan proses bisnisnya. Akibatnya, semua harga produknya menjadi tidak efisien, dan akhirnya kita menyaksikan harga jual energi dari negara Singapore yang tidak mempunyai sumber migas bisa lebih murah daripada negara kita. Padahal bahan bakunya dari kita. Contohnya soal kisruh harga jual LNG baru baru ini, termasuk harga BBM yang diimpor dan biaya kilang BBM yang efisien di Singapore. Bahkan minyak mentah Pertamina dari West Qurna 1 pun diolah di kilang Shell Singapore, sementara sudah hampir 3 tahun proyek RDMP dan pembangunan kilang baru  Pertamina seakan jalan di tempat, sudah tahunan dari MoU ke MoU.

Padahal saya mendapat data, banyak perusahaan swasta berani berinvestasi miliaran dollar untuk membangun fasilitas energi terintegrasi di beberapa wilayah Indonesia untuk mendukung ketahanan energi nasional dan sangat rajin menawarkan kerja sama dengan Pertamina, PLN, dan PGN sebagai offtaker produknya. Termasuk menawar sahamnya sesuai kemampuan keuangan BUMN itu sendiri. Tetapi, selalu diabaikan dengan alasan tidak jelas, sehingga tak salah saya menduga banyak "gendoruwo" yang menghambat ide bagus itu. Karena "gendoruwo" sangat menikmati manisnya madu ekspor minyak mentah, LNG, dan ekses produk kilang dan impor gas dan BBM. Karena hal ini sudah berlangsung lama, maka tak salah publik  menyimpulkan "gendoruwo" itu mampu mengendalikan Presiden dan pembantunya serta membuat cowboy senayan tidur pulas.

Padahal menurut UU BUMN nomor 19/2003 pasal satu jelas sudah diamanatkan tugas dan fungsi BUMN, khususnya pembangunan pembangkit listrik adalah menyangkut hajat hidup orang banyak .

Maka selayaknya sesama BUMN energi bersinergi sesuai Peraturan Presiden nomor 41 tahun 2015 yang mengatur hubungan sinergi antar BUMN, bahkan soal perintah ini bukan hal baru. Karena Kementerian BUMN telah menerbitkan juga Permen BUMN nomor 05/ MBU/2008 dan bahkan telah dibuat surat edarannya nomor 03/MBU.S/ 2009 tanggal 3 September 2008 ditujukan kepada seluruh BUMN perlunya sinergi antar BUMN dalam menjalankan program Pemerintah untuk dapat mensejahterakan rakyat.

Sehingga kebijakan PLN yang dikatakan oleh Direkturnya Supangkat Iwan Santoso pada berbagai media pada 21/5/ 2016 disisa tender 18 ribu MW dari program 30 ribu MW mengatakan "PLN ingin mengembalikan prinsip lelang IPP dalam sebuah lelang pembangkit, IPP hanya bertugas berinvestasi di pembangkit dan infrastrukturnya. Akan tetapi, penguasaan energi primer (gas dan batubara) harus negara yang kuasai melalui PLN, hal ini dilakukan supaya ada jaminan pasokan".

Ternyata PLN sangat tidak perform  menjadi penjamin pasokan gas terhadap pembangkit baik milik IPP maupun pembangkit yang dimiliki dan dibangun oleh PLN sendiri. Faktanya malah PLN bukannya bersinergi dengan Pertamina dan PGN, malah menjalin hubungan bisnis dengan traders Singapore  Keppel Submarine dan Pavilion Gas Ltd. Keengganan PLN melakukan sinergi dengan Pertamina dan PGN bisa terkesan sebagai ketakutan "songki songki" kata anak Jakarta alias "kulit dompet ketemu kulit" pahit rasanya.

Sehingga akan menjadi pertanyaan besar bagi rakyat, apakah bentuk kerja sama dengan Traders Singapore telah diterjemahkan oleh Direksi PLN sebagai penguasaan sumber energi primer oleh negara? Kalau benar itu yang dimaksud oleh PLN, maka saya menilai bahwa direksi PLN gagal paham konsep energi dikuasai oleh negara.

Pada program 30.000 MW yang sudah dicetuskan oleh Presiden Jokowi dan sudah memerintahkan Kejagung dalam pelaksanaan, ternyata telah terjadi banyak penyimpangannya.

Halaman:

Tags

Terkini