peristiwa

Bagaimana Mungkin PLN Rugi Besar, Tapi Mitra Bisnis Untung Besar?!

Kamis, 19 Oktober 2017 | 11:59 WIB
images_berita_Okt17_TIM-PLN

Jakarta, Klikanggaran.com (19/10/2017) - Haru, sujud syukur di ruang Mahkamah Kostitusi (MK). Di luar dugaan, banyak orang Serikat Pekerja PLN memenangkan gugatan Judicial Review (JR) UU Ketenagalistrikan. MK mengabulkan sebagian tuntutan para pemohon berkaitan dengan pasal-pasal yang menjadi jantung UU ini, jantung neoliberalisme ketenagalistrikan. Demikian disampaikan oleh Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, di Jakarta, Kamis (19/10/2017).

“Kami yang dipercaya menjadi saksi ahli para pemohon dalam JR tersebut tentu saja merasa senang. Ini adalah dasar untuk penyelamatan kedaualatan negara atas ketenagalistrikan dan sekaligus dasar untuk perlindungan dan penyelamatan hajat hidup orang banyak,” tutur Daeng.

“Namun, harapan rakyat agar pemerintah menjalankan putusan MK secara konsisten ternyata hanyalah harapan hampa. Pemerintah malah melakukan hal sebaliknya, yakni membuat sistem pengelolaan ketenagalistrikan yang sangat neoliberal, menyerahkan usaha ketenagalistrikan kepada swasta, mencabut subsidi listrik dan mengejar kenaikan tarif dasar listrik agar sesuai harga pasar,” lanjutnya.

Daeng menyesalkan bahwa Badan Usaha Milik Negara dalam hal ini PLN, menjadi ajang bancakan oligarki politik untuk mengeruk uang bagi kepentingan pribadi dan golongan. Pemerintah melalui berbagai regulasi memecah belah unit usaha PLN menjadi unit-unit bisnis yang dikuasai oligarki. Daeng menilai, Pemerintah telah menjadikan PLN sebagai pasar bagi bisnis infrastruktur impor, baik yang baru maupun bekas. Oligarki menjadikan PLN sebagai pasar untuk menjual batubara mahal, gas mahal, dan solar mahal. Pembangkit milik PLN dimatikan secara sistematis, sementara pembangkit swasta disediakan pasar dan harga yang sangat menguntungkan.

Dalam tulisan yang diterima Klikanggaran.com Daeng menyatakan, sumber internal  PLN yang paling terpercaya mengatakan bahwa mereka tidak berdaya menghadapi permainan politik. Mereka dipaksa menjalankan proyek tidak masuk akal 35 ribu megawat, mereka dipaksa membiayai pengeluaran infrastuktur yang tidak rasional, mereka dipaksa membeli energi dengan harga yang sangat mahal, yang semua itu harus ditutup dengan utang PLN.

“Sekarang ini utang PLN kepada lembaga keuangan internasional telah mendekati Rp 300 triliun ditambah utang lain-lain berakumulasi mendekati Rp 500 triliun. Semua utang itu adalah biaya bagi sebuah ambisi penguasa yang sangat besar. Ambisi yang mengakibatkan PLN berada di tepi jurang kebangkrutan yang menyakitkan,” sesal Daeng.

Hal tersebut membuat pengamat ekonomi politik ini meramalkan, PLN sebentar lagi ambruk, karena tidak sanggup menanggung beban utang dan resiko utang yang meningkat. Ditambah lagi statement yang diluncurkan Menteri Keuangan, semakin menimbulkan ketidakpercayaan para pemilik uang, dan PLN siap-siap menghadapi debt para collector.

“Padahal Sri Mulyani otak di balik pencabutan subsidi listrik yang menyebabkan keuangan PLN sekarat,” cetusnya.

Sementara pada sisi lain, di balik terseoknya PLN, menurut Daeng pemerintah untung karena tidak lagi memberikan subsidi listrik. Seluruh mitra bisnis PLN yakni para pemberi utang, para pemasok infrastuktur, para vendor, para pedagang batubara dan gas untuk PLN, para pemilik pembangkit swasta, para penjual pulsa listrik, semua untung besar.

“Pihak PLN membeberkan fakta ada pengusaha pemasok batubara bisa mendapatkan hingga Rp 100 triliun dalam enam bulan terakhir karena kenaikan harga batubara,” tandas Daeng.

Terakhir Daeng menggarisbawahi, bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah bukan bisnis, karena bisnis itu saling menguntungkan. Ada yang untung besar dan ada yang untung kecil.

“Ini juga bukan sekedar neoliberalisme. Ini adalah penjarahan keuangam terhadap PLN yang bermuara pada penjarahan terhadap uang rakyat yang tengah sekarat!” tutupnya.

 

Tags

Terkini