peristiwa

KAKI PUBLIK: Jangan Takut, UU ITE Tak Dapat Membatasi Hak Berpendapat

Kamis, 26 Oktober 2017 | 22:57 WIB
images_berita_Okt17_TIM-WA

Jakarta, Klikanggaran.com (27/10/2017) – UU ITE saat ini ditengarai dapat membelenggu masyarakat dalam berpendapat. Bahkan sudah merasuki ruang-ruang aplikasi chat berbasis internet, seperti Whatsapp, Line, dan lain-lain. Hal tersebut dinilai telah jelas mengganggu hak pribadi setiap warga masyarakat Indonesia. Di era keterbukaan informasi, pemerintah malah justru menjadikan pemerintah yang tertutup, dan terkesan Otoriter. Hal ini disampaikan oleh Adri Zulpianto, Direktur Kajian dan Riset Lembaga Kaki Publik, di Jakarta, Kamis (26/10/2017).

Adri menyatakan bahwa UU ITE tidak dapat memberikan sanksi pidana terhadap setiap warga masyarakat terkait pendapat-pendapat yang mengkritisi dan mengkaji pemerintah.

“Jika melihat Pasal 28 ayat 2 UU ITE, pasal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai rujukan bagi pemerintah untuk menangkap, bahkan mempidanakan seseorang. Jika hal tersebut terjadi, jelas ini akan menjadi kontraproduktif terhadap penjaminan hak setiap warga Negara,” jelasnya.

Adri memaparkan bahwa yang dimaksud dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE ialah, jika menjadikan perbedaan agama, perbedaan suku, perbedaan ras, dan golongan. Kemudian perbedaan-perbedaan tersebut dijadikan sebagai bahan untuk membeci, mencela, bahkan menindas. Hal inilah menurutnya yang kemudian bisa dijadikan sebagai rujukan untuk mempidanakan yang bersangkutan.

“Kita sepakat betul jika perbedaan dijadikan konten untuk menghembuskan kebencian ini harus dipidanakan. Akan tetapi, Pemerintah ini kan menjadi keterwakilan masyarakat untuk menjalankan system pemerintrahan, kemudian diangkatlah mereka untuk mengisi kursi di pemerintahan. Terpilihnya mereka menjadi pengisi kekuasaan inilah maka masyarakat berhak untuk mengkaji, mengkritisi kinerja, dan berpendapat atas kinerja pemerintah! Apakah kinerja yang menjadi objek pembicaraan kemudian menjadi isu SARA? Ini yang perlu difahami bersama,” tegas Adri.

Menurut Adri, perlu ada pemahaman dalam membaca Undang-Undang ITE, jangan sampai pemahaman ini disalahartikan oleh pihak-pihak tertentu untuk menafsirkan bahwa pemerintah sekarang adalah wujud reinkarnasi dari rezim Orba.

“Orba dulu juga berjuang membangun infrastruktur, yang salah kemudian adalah adanya para pemerhati pemerintah, mengkritisi, namun kemudian ditangkap, hilang entah kemana,” ujar Adri.

“Jika memang pemerintrah merasa kebijakan yang dikritisi oleh masyarakat luas merupakan bagian dari SARA, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah pemerintah kita ini berasal dari golongan yang berbeda? Bukan berasal dari Indonesia? Bukankah kita Satu?” pungkasnya.

Diketahui bahwa Pasal 28 (2) UU ITE menyatakan Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Menyusul Ancaman pidana dari pasal 28 (2) UU ITE diatur dalam pasal 45 ayat 2 UU ITE yaitu Pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak 1 Milyar Rupiah

 

Tags

Terkini