Terkait Pancasila dan Keadilan Sosial, Syahganda mengatakan, Pancasila sebagai ideologi, jika merujuk pada proklamasi adalah sintesa dari wajah Islam dan Sosialisme. Mayoritas pendiri bangsa kita menolak liberalism dan kapitalisme masuk dalam sendi-sendi ajaran dan faham dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadilan sosial dalam sila kelima Pancasila adalah berwajah sosialistik agamis, bukan versi individualistic liberal.
"Pada saat reformasi terjadi, mulailah faham liberal dan kapitalistik muncul ke permukaan. Hal ini terjadi karena sebelumnya pendidikan kita selama 32 tahun mengadopsi pikiran-pikiran liberal barat. Semua universitas menggunakan buku-buku dari kebajikan barat, dosen-dosen yang berbakat disekolahkan ke kampus-kampus di barat. Kampus seperti UGM misalnya, berusaha menciptakan mazhab sendiri perihal keadilan social ini, yang terkenal dengan mazhab “ekonomi Pancasila” di masa lalu. Kampus-kampus universitas Islam dan IAIN juga berusaha membangun teori keadilan sosial berbasis Islam sebagai alternatif. Namun, saat ini upaya itu terancam sirna. Kelihatannya dominasi pemikiran individualistic dan liberalistik sudah tidak dapat dihindari," papar Syahganda.
"Hal itu tercermin mulai dari perubahan UUD 45, khususnya pasal 33 dengan memasukkan istilah demokrasi ekonomi, di samping kita mengadopsi sistem demokrasi liberal barat sebagai “pairing”nya di politik, sampai saat ini, misalnya, dimana pemerintah sejak reformasi, tidak merasa bersalah menganut faham kapitalisme dan neoliberalisme," lanjutnya.
Sementara tantangan keadilan sosial menurutnya adalah kasus Meikarta dan Reklamasi.
"Sejak reformasi, kita melihat kesenjangan sosial di Indonesia terus membesar. Kesenjangan social yang diukur melalui pengeluaran (konsumsi) sepanjang 5 tahun ini sekitar 0,4 (Koefisien Gini). Namun, kesenjangan sosial berbasis income belum pernah dirilis. Sedangkan kesenjangan sosial berbasis asset produktif, tentu jauh lebih parah," katanya.
Ombusman Republik Indonesia, lanjutnya, pada awal tahun ini merilis bahwa 0,2% orang menguasai tanah seluas 74% Indonesia. Di kota tanah-tanah itu berbentuk asset produktif dengan mal-mal, pusat hiburan, perkantoran yang terbangun mewah. Di pedesaan, tanah-tanah itu berupa perkebunan, pertambangan, minyak, kawasan pantai, dan lain sebagainya.
"Jika asset produktif ini menciptakan income bagi kapitalis, maka sudah dipastikan kesenjangan sosial berbasis asset berbanding lurus dengan kesenjangan berbasis income. Sehingga, jika Negara bisa meneliti lebih detail, maka sesungguhnya Koefisien Gini di Indonesia pasti sudah jauh di atas angka resmi pemerintah," ujar Syahganda.
Syahganda juga menjabarkan, di perkotaan kesenjangan ini dipicu oleh kelompok bisnis properti yang mampu mengatur Negara. Fungsi sosial tanah untuk menciptakan keadilan sosial, sebagaimana tersirat dalam UU Pokok Agraria dan spirit Land reform di zaman awal kemerdekaan, berubah menjadi fungsi bisnis semata
Syahganda memberikan contoh, dalam kasus Reklamasi Jakarta, kelompok properti mengatur sedemikian rupa agar tercipta suatu pemukiman orang-orang kaya yang mengontrol akses laut Jakarta, dengan meminggirkan rakyat kecil, seperti nelayan dan kaum miskin kota. Bahkan, dengan situasi lesunya pasar property dan marketing properti ini diarahkan dengan bahasa Mandarin, projek reklamasi ini, dengan rencana jutaan penghuni, memang diarahkan hanya untuk kepentingan segelintir orang, bisa hanya untuk kepentingan bisnis, namun bisa juga untuk kepentingan politik asing.
"Dalam kasus Meikarta, kita juga melihat penguasaan lahan daerah-daerah pinggiran Jawa Barat oleh segelintir pengusaha semakin nyata. Atas dukungan rezim yang berkuasa, melalui program KCIC (Kereta Cepat Indonesia China) Bandung Jakarta, yang dibiayai negara via hutang ke dan investasi China, projek Meikarta menyulap kawasan pertanian menjadi bisnis property triliunan rupiah. Meski pembangunan kota seluas antara 500 HA sd 2000 HA ini belum ada izin dan belum masuk RTRW (Rencana tata Ruang dan Wilayah), swasta kapitalis tidak perduli, tetap jalan dalam memasarkan produknya, baik di dalam negeri secara ritel maupun kepada investor asing. Kita melihat bahwa negara berkorban melakukan support atas projek-projek swasta besar, yang pastinya tidak menguntungkan rakyat dalam dampak langsung, misalnya, apa dan siapa yang diuntungkan dari adanya KCIC dalam peningkatan value tanah di sekitar lintasan KCIC?" papar Syahganda.
"Tentu banyak peristiwa atau projek-projek lainnya yang di Indonesia berkembang bukan dalam konteks developmentalism," lanjutnya.
Keadilan Sosial: Anomali Jakarta
"Keadilan sosial adalah barang mahal buat bangsa Indonesia. Kita semakin jauh terseret pada kapitalisme dan neoliberalisme. Bergerak dari Plutokrasi ke Corporatism. Hampir semua institusi sosial dan politik menjadi pengabdi pemilik modal, khususnya karena mahalnya biaya demokrasi. Namun, suatu hal yang menarik kita saksikan di Jakarta baru-baru ini," lanjutnya lagi.
Syahganda menekankan, tantangan bagi upaya keadilan sosial kita saksikan di Jakarta. Gerakan rakyat menuntut keadilan sosial pada Pilkada Jakarta digambarkan oleh sosok pengabdi kapitalis, Ahok, versus sosok sosialistik, agamis dan kerakyatan, Anis Beswedan. Pada pesta demokrasi yang menghabiskan uang puluhan triliun rupiah ini, menurut Syahganda, kekuatan rakyat ternyata mampu mengalahkan ambisi kapitalis menguasai total Jakarta. Tema-tema anti kapitalis, seperti tolak Reklamasi Jakarta, bubarkan Alexis (diasumsikan sebagai “peternakan pejabat korup”), majukan kaum pribumi, kembangkan semangat komunal dan agamis, serta lainnya.
Meskipun pertarungan kelompok kapitalis melawan kelompok pro-keadilan sosial terjadi dengan mengambil banyak korban, namun kemenangan kelomok Anies Sandi menurut Syahganda membawa harapan peranan Negara bisa muncul lagi di Indonesia.