Jakarta, Klikanggaran.com (8/11/2017) - Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle, dalam sebuah diskusi mengatakan, corak pembangunan berwajah kapitalis dengan spirit kapitalisme dan neoliberalisme sepertinya sudah menjadi keniscayaan selama masa reformasi ini. Wajah ini ditandai dengan massifnya peranan modal dalam menentukan arah pembangunan itu dan manfaat yang diciptakannya.
"Pemilik modal, sang kapitalis, maupun korporasinya, telah berkontestasi dengan negara sebagai perencana pembangunan, sistem sosial, dan sistem politik. Peranan institusi sosial dan komunitas semakin terpinggirkan. Bahkan, negara pun acapkali harus tunduk pada kepentingan kapitalis dan sistem kapitalisme ini," tutur Dr. Syahganda Nainggolan dalam pengantar diskusi pada Program Pasca Sarjana Universitas Pasundan, Bandung, Rabu (8/11/2017).
Menurut Syahganda Nainggolan, kapitalisme adalah sebuah system/ideologi bercirikan kepemilikan pribadi, kompetisi dalam pasar, maksimasi akumulasi kekayaan pemilik modal, dan membayar pajak untuk Negara. Dalam perkembangannya, kapitalisme diwarnai dengan Neoliberalisme, sebuah mazhab “political economy” yang dengan aggresif mendorong hilangnya peranan negara dalam urusan bisnis.
Urusan bisnis ini termasuk memperluas “public domain/public place” menjadi “market place”. Ciri utamanya yakni merajalelanya peranan kepentingan bisnis dalam mengatur Negara, yang antara lain ditandai dengan privatisasi badan usaha Negara (BUMN) dan penjualan aset-aset negara.
"Di Eropa dan Amerika hal ini sudah terjadi sejak tahun 80-an, dan di Indonesia setelah era reformasi. Dalam perkembangan terkininya, umpamanya di Amerika, sebelum masa Donald Trump. Namun, meskipun kapitalisme dan neoliberalisme ini berpedoman Negara dengan “small government”, faktanya sistem ini menggunakan negara, baik dalam memperbesar akumulasi aset para kapitalis, terutama ketika krisis ekonomi terjadi," katanya.
Jeffry Sach (2011) mengatakan bahwa peranan kelompok bisnis dalam mengatur negara di Amerika semakin dominan. Hal ini khususnya ditunjukkan pada peristiwa kehancuran ekonomi Amerika yang diakibatkan kejahatan pelaku bisnis pada krisis keuangan 2008, tapi negara dan rakyatlah yang terpaksa menanggung beban akibat krisis tersebut.
Syahganda mencontohkan, Negara Amerika menggelontorlan uang berkisar 840 milyar dollar dalam program “bail out” hutang-hutang swasta dan “stimulasi ekonomi” sepanjang 2009-2012 . Di Indonesia, negara dalam kasus krisis keuangan yang dilakukan dunia usaha, 1998, juga menanggung beban sebesar Rp 600 trilyun dalam bentuk hutang yang harus dibayar setiap tahunnya melalui APBN.
Alhasil, lanjut Syahganda, dari pemetaan sosiologi politik yang membagi negara dan masyarakat ke dalam “sphere” / wilayah negara (state sphere), market sphere atau swasta, public sphere (wilayah umum/masyarakat) dan private life, kita menyaksikan dominasi kelompok pemilik modal telah menjangkau semua wilayah tersebut.
Keadilan Sosial
Konsep keadilan menurut Syahganda sampai saat ini terus berkompetisi antara mazhab liberalism dan sosialisme (agama). Liberalisme mengajarkan konsep individualistas. Sebaliknya, sosialisme/komunalisme (agama) mengajarkan konsep berbagai atau kepentingan bersama/social.
"Ketika Margaret Tatcher berkuasa di Inggris era 80an, dia menganut dan mengumandangkan prinsip bahwa di dunia ini tidak dikenal komunitas social, yang ada hanyalah para individu dan keluarga," katanya.
Kedua, lanjutnya, semua hal tentang bernegara dan berbangsa harus dengan kata kunci efisiensi. Ketiga, prinsip lainnya adalah “survival for the fittest”, yakni setiap orang harus berjuang untuk dirinya sendiri. Peranan negara yang adil hanyalah memastikan adanya kompetisi pasar sempurna dan efisien untuk setiap individual dan mengurus sedikit orang orang lemah yang butuh bantuan social, karena kalah dalam kompetisi pasar.
"Untuk itu dia mulai melakukan privatisasi BUMN-BUMN, sekolah-sekolah, rumah sakit, dan lain sebagainya, yang sebelumnya dikelola Negara untuk lebih berwajah sosial, menjadi institusi yang dimiliki dan digerakkan swasta. Pada saat itu, pandangan Tatcher ini diikuti oleh Amerika yang dipimpin Ronald Reagen, sehingga pada akhirnya menciptakan perubahan dunia, khususnya eropa barat, yang lebih berwajah sosialistik, menjadi liberal," papar Syahganda.
Keadilan social versi sosialis (dengan segala variannya) dan agama, khususnya Islam, dikatakan Syahganda justru menempatkan pentingnya keadilan sosial dan usaha-usaha yang dikelola secara sosial. Olehkarenanya, semua eksistensi dan fungsi institusi Negara dan masyarakat harus memperjuangkan keadilan sosial dalam agenda utama. Dalam peta sosiologi politik tentang masyarakat, Negara harus bersifat “weberian” yang eksisi dan memiliki kekuatan, bukan merupakan proxy kepentingan kapitalis. Public sphere harus eksis dalam kehidupan yang terpisah dari market sphere. Misalnya, pendidikan harus dikelola oleh Negara untuk menciptakan keadilan dan mencerdaskan semua masyarakat.