Jakarta, Klikanggaran.com (15/11/2017) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemanggilan kepada Ketua DPR, Setya Novanto, dan istrinya, Deisti Astiani Tagor.
Namun, pemanggilan kepada Setya Novanto agar datang ke kantor KPK itu ditolak oleh Setya Novanto, dengan mengirim sebuah surat cinta kepada KPK.
Dalam surat cinta tersebut disampaikan, KPK tidak boleh melakukan pemeriksaan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Setya Novanto, sebelum mendapat izin dari Presiden.
Pemanggilan kepada sstri Setya Novanto, Deisti Astiani Tagor, juga ditolak dengan mengirimkan sebuah surat cinta pula kepada KPK. Dalam surat tersebut dikatakan bahwa istri Setya Novanto tidak bisa memenuhi panggilan KPK karena tiba-tiba sakit.
Dengan tidak hadirnya Deisti Astiani Tagor atas pemanggilan pertama, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menjadwalkan ulang pemeriksaan terhadap istri Setya Novanto tersebut.
Belajar dari pengalaman tersebut, publik mengkhawatirkan, pada pemanggilan kedua oleh KPK kepada Istri Setya Novanto ini kemungkinan juga bakal tidak datang lagi ke KPK. Karena, kalau Setya Novanto menolak dipanggil oleh KPK, maka Deisti Astiani Tagor akan mengikuti kebijakan sang suami, yaitu sama-sama menolak panggilan KPK.
Maka menurut publik, ada dua solusi bagi KPK agar suami istri itu bisa hadir ke KPK. Pertama, memenuhi keinginan Setya Novanto, yaitu bersedia datang menghadap penyidik, asal KPK sudah dapat surat izin dari Presiden. Kedua, KPK harus melakukan pemanggilan paksa kepada Setya Novanto.
Tetapi, untuk langkah kedua sepertinya juga masih meragukan. Karena pengacara Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar ini, Fredrich Yunadi, telah memperingatkan KPK, bahwa pihaknya akan meminta perlindungan Presiden Joko Widodo jika KPK memanggil paksa kliennya.
Sekarang kita tunggu KPK, jalan mana yang akan mereka lalui. Apakah minta surat izin pada Presiden, atau memanggil paksa Setya Novanto?
Atau, jangan-jangan, KPK tidak melakukan apa pun, dan mengikuti manuver Setya Novanto agar KPK bisa dikalahkan lagi secara hukum dan politik?