KLIKANGGARAN --Hallo Klikers. Kali ini kita akan menjelajah ke Makassar untuk mengenal kesenian Tarung Sarung. Kalau begitu, kita kenalan dulu ya dengan kesenian Tarung sarung.
Film Tarung Sarung yang disutradarai oleh Archie Hekagery dan diproduksi oleh Starvision Plus, mengangkat berbagai kebudayaan daerah khas Makasar, salah satunya kesenian tarung sarung.
Tarung sarung adalah tradisi olahraga yang kental dengan unsur lokal dan sudah berlangsung secara turun-temurun bagi suku Bugis- Makassar.
Dahulu nenek moyang kita menyelesaikan masalah dengan pertarungan satu lawan satu menggunakan bading atau disebut Sigajang Lalang Lipa cara kesatria.
Baca Juga: Kabar dari BTS, Resmi, V BTS Akan Bermain Bersama di Video Musik (VM) Terbaru dari IU
Sekarang Sigajang Lalang Lipa tidak lagi menggunakan bading. Maka untuk melastarikan tradisi ini Tarung Sarung dijadikan sebagai olahraga. Dua orang yang bertanding tidak membawa senjata alias tangan kosong.
Tidak di atas Ring tidak juga di dalam octagon, tapi dua orang bertarung dalam satu sarung. Olahraga ini bisa dilakukan oleh semua kalangan, mulai dari anak kecil sampai orangtua.
Dua orang akan berkelahi dalam satu sarung hingga salah satu dari mereka menderita kekalahan, bahkan tak jarang kematian. Namun, Tarung Sarung bukan untuk ajang balas dendam, melainkan menjunjung tinggi rasa malu.
Selain menikmati suguhan Tarung Sarung, kita juga dapat mempelajari bahasa mangasara.
Bahasa Makasar yang kental seperti bahasa Austronesia dari sub-rumpun Melayu-polinesia cabang Sulawesi Selatan atau bisa disebut bahasa Mangasari digunakan dalam beberapa scene.
Bahasa mangasara yang ditemukan dalam film Tarung Sarung adalah sebagai berikut;
1. Saya menjadi Nakke
2. Kamu menjadi Kette
3. Hidup menjadi Tallasa
4. Mati menjadi Mate
5. Sebutan bagi laki-laki yang berpenampilan selayaknya perempuan menjadi Calabai
Seru ya menonton film sambil menemukan kebudayaan dan Bahasa yang digunakan oleh penduduk lokal? Tetaplah menjaga kelestarian budaya Indonesia, karena ada pribahasa yang mengatakan “Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi”.